Categories
Thaharah

Hukum Berkumur Ketika Mandi Junub Apakah Wajib?

Apakah berkumur wajib ketika mandi junub?

Berkumur-kumur dalam mandi junub hukumnya sunnah muakkadah sehingga jika seseorang meninggalkannya mandinya tetap sah, berkata An-Nawawi:

الْوُضُوءُ وَالْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ سُنَنٌ فِي الْغُسْلِ فَإِنْ تَرَكَ الثَّلَاثَةَ صَحَّ غُسْلُهُ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ فَإِنْ تَرَكَ الْوُضُوءَ وَالْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ فَقَدْ أَسَاءَ وَيَسْتَأْنِفُ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَغَيْرُهُ سَمَّاهُ مُسِيئًا لِتَرْكِ هَذِهِ السُّنَنِ فَإِنَّهَا مُؤَكَّدَةٌ فتاركها مسئ لَا مَحَالَةَ قَالُوا وَهَذِهِ إسَاءَةٌ بِمَعْنَى الْكَرَاهَةِ لَا بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ

“wudhu, madhmadhoh, istinsyaq adalah sunnah-sunnah mandi junub, maka jika seseorang meninggalkan tiga perkara tersebut maka mandinya tetap sah. Berkata Asy-Syafi’i dalam kitab al-Mukhtashar: jika seseorang meninggalkan wudhu, madhmadhoh, dan istinsyaq maka dia telah melakukan perbuatan buruk, dan hendaknya ia mengulangi madhmadhoh dan istinsyaqnya. Berkata Al-Qadhy Husain dan selainnya: beliau menamakannya dengan orang yang telah melakukan perbubatan buruk karena meninggakan sunnah-sunnah ini, karena sesungguhnya ketiganya hukumnya sunnah muakkadah dan orang orang yang meninggalkannya pasti telah melakukan perbuatan buruk. Mereka berkata: dan ini adalah perbuatan buruk yang bermakna makruh bukan haram.” ([1])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 2/197

Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, yang sebagian besar telah dibahas dalam masalah berkumur ketika berwudhu. Disebutkan oleh an-Nawawi bahwa terdapat empat pendapat dalam masalah berkumur dalam mandi wajib:

Pertama: madhmadhoh dan istinsyaq keduanya hukumnya sunnah ketika berwudhu maupun mandi. Dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’I, dan dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir dari al-Hasan al-Bashry, Az-Zuhry, al-Hakam, Qotadah, Rabi’ah, Yahya bin Sa’id al-Anshory, Malik, al-Awza’i, al-Laits, dan merupakan riwayat dari ‘Atho dan Ahmad.

Kedua: keduanya wajib ketika berwudhu dan mandi dan merupakan syarat sahnya wadhu dan mandi. Dan ini adalah madzhab Abu Laila, Hammad, Ishaq, dan pendapat yang masyhur dari Ahmad dan riwayat dari Atho.

Ketiga: keduanya wajib ketika berwudhu dan tidak wajib ketika mandi. Dan ini adalah perkataan Abu Hanifah, murid-muridnya, dan Sufyan Ats-Tsauri.

Keempat: istinsyaq wajib ketika berwudhu dan mandi, adapun madhmadahoh tidak wajib. Ini adalah madzhab Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Dawud, dan riwayat imam Ahmad. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir. Al-Majmu’ Syarhul Muhdzdzab 1/363

Salah satu sebab perselisihannya adalah apakah yang berada didalam hidung atau mulut termasuk wajah? Dan ini sudah dijelaskan dalam bab wudhu. Dan juga terdapat beberapa riwayat yang secara khusus membahas berkumur ketika mandi, diantaranya riwayat dari Abu Hurairah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  «جَعَلَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ لِلْجُنُبِ ثَلَاثًا فَرِيضَةً».

“sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan madhmadhoh dan istinsyaq tiga kali bagi orang yang junub sebagai sesuatu yang wajib.” HR. Ad-Daruquthny dalam sunannya no. 409, namun dikatakan oleh beliau bahwa ini hadits yang batil, karena hadits ini hanya diriwayatkan oleh Barokah.

Dan juga terdapat riwayat dari Ibnu Abbas ketika ditanya tentang seseorang yang ketika mandi junub lupa untuk madhmadhoh dan istinsyaq kemudian ia shalat, beliaupun menjawab:

«إِنْ كَانَ مِنْ جَنَابَةٍ أَعَادَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ وَاسْتَأْنَفَ الصَّلَاةَ».

“jika disebabkan karena janabah maka baginya untuk mengulang madhmadhoh dan istinsyaq dan mengulangi shalatnya.” HR. Ad-Daruquthny no. 411

Begitu juga terdapat lafaz yang lain dari Ibnu Abbas (mungkin ini salah satu yang dijadikan dalil oleh Abu Hanifah):

«يُعِيدُ فِي الْجَنَابَةِ وَلَا يُعِيدُ فِي الْوُضُوءِ»

“mengulangi untuk janabah dan tidak mengulangi untuk wudhu.” HR. Ad-Daruquthny no. 412

Namun semuanya diriwayatkan oleh Aisyah binti ‘Ajrad, dan dikatakan oleh Ad-Daruquthny bahwasanya tidak bisa berhujjah dengan riwayatnya, beliau berkata:

عَائِشَةُ بِنْتُ عَجْرَدٍ لَا تَقُومُ بِهَا حُجَّةٌ

“Aisyah binti ‘Ajrad tidak bisa tegak hujjah dengannya.” Sunan ad-Daruquthny 1/207

Categories
Thaharah

Haruskah Membasuh Kembali Anggota Yang Sudah Kena Wudhu Ketika Mandi Wajib?

Apakah anggota tubuh yang telah dibasuh ketika berwudhu harus dibasuh lagi ketika mandi?

Dikatakan oleh Ibnu Hajar bahwa permulaan mandi janabah dengan wudhu ini ada dua kemungkinan, wudhu tersebut adalah sunnah yang menyendiri sehingga tetap wajib untuk membasuh seluruh anggota tubuh walaupun ketika berwudhu telah dibasuh, dan ada kemungkinan bahwasanya wudhu dan mandi tersebut adalah satu kesatuan sehingga ketika mandi tidak perlu membasuh anggota tubuh yang telah dibasuh ketika berwudhu, berkata Ibnu Hajar:

وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الِابْتِدَاءُ بِالْوُضُوءِ قَبْلَ الْغُسْلِ سُنَّةً مُسْتَقِلَّةً بِحَيْثُ يَجِبُ غَسْلُ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ مَعَ بَقِيَّةِ الْجَسَدِ فِي الْغُسْلِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكْتَفِيَ بِغَسْلِهَا فِي الْوُضُوءِ عَنْ إِعَادَتِهِ وَعَلَى هَذَا فَيَحْتَاجُ إِلَى نِيَّةِ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فِي أَوَّلِ عُضْوٍ وَإِنَّمَا قَدَّمَ غَسْلَ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ تَشْرِيفًا لَهَا وَلِتَحْصُلَ لَهُ صُورَةُ الطَّهَارَتَيْنِ الصُّغْرَى وَالْكُبْرَى وَإِلَى هَذَا جَنَحَ الدَّاوُدِيُّ شَارِحُ الْمُخْتَصَرِ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ

“dan ada kemungkinan permulaan dengan berwudhu sebelum mandi ini sebagai sunnah yang menyendiri, yaitu dimana wajib untuk membasuh anggota wudhu dengan anggota badan yang lain ketika mandi junub, dan ada kemungkinan dicukupkan dengan membasuhnya ketika berwudhu dari mengulangnya (mengulang membasuh ketika mandi), maka dengan ini dibutuhkannya untuk niat mandi janabah ketika membasuh anggota tubuh yang pertama, dan dikedepankannya membasuh anggota wudhu sebagai pemuliaan atasnya dan agar tercapai dua bentuk pensucian yaitu yang kecil dan besar, dan pendapat ini yang dipilih oleh Ad-Dawudy pensyarah kitab Al-Mukhtashor dari kalangan Syafi’iyyah.” ([1])

Lalu beliau juga mengucapkan bahwa kemungkinan pertama lebih kuat, beliau berkata:

قَوْلُهُ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ هَذَا التَّأْكِيدُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ عَمَّمَ جَمِيعَ جسده بِالْغسْلِ بعد مَا تَقَدَّمَ وَهُوَ يُؤَيِّدُ الِاحْتِمَالَ الْأَوَّلَ أَنَّ الْوُضُوءَ سُنَّةٌ مُسْتَقِلَّةٌ قَبْلَ الْغُسْلِ وَعَلَى هَذَا فَيَنْوِي الْمُغْتَسِلُ الْوُضُوءَ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا وَإِلَّا فَسُنَّةُ الْغسْل

“dan ucapannya (ke seluruh kulitnya), penguat ini menunjukkan bahwasanya beliau menyeluruhkan seluruh badannya ketika mandi setelah melakukan apa yang telah lalu, dan ini menguatkan kemungkinan yang pertama bahwasanya wudhu adalah sunnah yang tersendiri sebelum mandi, maka dengan ini orang yang mandi hendaknya meniatkan wudhu jika ia berhadats, jika tidak maka ini hanya termasuk sunnah mandi.” ([2])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) Fathul Bary1/360

([2]) Fathul Bary 1/361

Categories
Thaharah

Tata Cara Mandi Wajib/Junub yang Sempurna

Tata Cara Mandi Wajib/Junub yang Sempurna

Maka terdapat dua hadits pokok yang bisa dijadikan landasan. Dua hadis ini berasal dari dua istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah dan Maimunah radhiallahu ‘anhuma.

Hadis Pertama: hadits Aisyah radhiallahu ‘anha,

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh badannya.” ([1])

Hadits Kedua:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Dari Ibnu Abbas, bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Selanjutnya, beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua kakinya (di tempat yang berbeda).” ([2])

Dan juga dalam riwayat yang lain:

«تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءهُ لِلصَّلاَةِ، غَيْرَ رِجْلَيْهِ، وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنَ الأَذَى، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ المَاءَ، ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ، فَغَسَلَهُمَا، هَذِهِ غُسْلُهُ مِنَ الجَنَابَةِ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu seperti wudlu beliau untuk shalat tanpa membasuh kedua kakinya. Beliau membasuh kemaluan dan apa yang mengenainya dari kotoran. Kemudian beliau mengguyurkan air ke badan beliau. Kemudian memindahkan kedua kaki beliau, lalu membasuh keduanya. Inilah cara mandi beliau karena janabah.” ([3])

Tata Cara Mandi Wajib/Junub

Dengan menggabungkan hadits-hadits di atas, bisa kita simpulkan urutan tata cara mandi sebagai berikut:

  1. Niat, dan ini salah satu syarat sebagaimana yang telah lalu pembahasannya dalam bab wudhu, dan niat juga yang membedakan antara mandi biasa dengan mandi untuk menghilangkan hadats, berkata Ibnu Hajar:

وَحَقِيقَةُ الِاغْتِسَالِ غَسْلُ جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ مَعَ تَمْيِيزِ مَا لِلْعِبَادَةِ عَمَّا لِلْعَادَةِ بِالنِّيَّةِ

“dan hakikat dari mandi junub adalan mencuci seluruh anggota tubuh dengan membedakan mandi yang untuk ibadah dengan mandi biasa dengan niat.” ([4])

  1. Membaca basmalah, dan ini hukumnya sunnah seperti yang telah lalu pembahasannya dalam bab wudhu. ([5])
  2. Menuangkan air dan mencuci kedua tangan sebelum memasukkan ke bejana. Dan hukumnya sunnah sehingga orang yang mandi janabah dan tidak mencuci kedua tangannya terlebih dahulu maka mandinya tetap sah. Karena yang wajib dalam mandi junub hanya dua hal: niat dan membasuh seluruh badan. Berkata Ibnu Qudamah:

فَعَلَى هَذَا تَكُونُ وَاجِبَاتُ الْغُسْلِ شَيْئَيْنِ لَا غَيْرُ؛ النِّيَّةُ، وَغَسْلُ جَمِيعِ الْبَدَنِ

“maka dengan ini kewajiban-kewajiban dalam mandi junub hanya dua perkara: niat dan membasuh seluruh badan.” ([6])

  1. Mencuci kemaluannya dengan tangan kirinya. ([7])

  2. Menggosokkan tangannya ke tembok setelah menyentuh kemaluannya, dan ini hukumnya mustahab. Berkata Ibnu Hajar:

وَعَلَى اسْتِحْبَابِ مَسْحِ الْيَدِ بِالتُّرَابِ مِنَ الْحَائِطِ أَوِ الْأَرْضِ

“dan menunjukkan akan mustahabnya mengusapkan tangan ke debu dari tembok atau tanah.” ([8])

Untuk zaman sekarang tidak perlu menggosok tangan ke tembok tapi cukup dengan membersihkannya dengan sabun dan yang semisalnya.

  1. Berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat, dan ini hukumnya sunnah berdasarkan ijma’, sebagaimana yang dijelaskan oleh an-Nawawi:

الْوُضُوءُ سُنَّةٌ فِي الْغُسْلِ وَلَيْسَ بِشَرْطٍ وَلَا وَاجِبٍ هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي ثَوْرٍ وَدَاوُد أَنَّهُمَا شَرَطَاهُ كَذَا حَكَاهُ أَصْحَابُنَا عَنْهُمَا: وَنَقَلَ ابْنُ جَرِيرٍ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ وَدَلِيلُهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِالْغُسْلِ وَلَمْ يَذْكُرْ وُضُوءًا

“Berwudhu hukumnya sunnah ketika mandi dan bukan syarat maupun wajib, ini adalah madzhab kami dan ini juga pendapat para Ulama secara keseluruhan kecuali apa yang dihikayatkan dari Abu Tsaur dan Dawud bahwasanya keduanya menjadikannya sebagai syarat, begitu juga Ulama kami menghikayatkan dari keduanya, dan Ibnu Jarir menukilkan ijma’ bahwasanya wudhu tidaklah wajib, dan dalilnya adalah bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan untuk mandi dan tidak menyebutkan wudhu.” ([9])

  1. Ketika mulai membasahi rambut, maka harus menyela-nyela pangkal rambut dan basahi dengan air sampai seluruh kepala dan rambut basah. ([10])

Adapun wanita yang rambutnya dikepang maka cukup diguyurkan air ke kepalanya sebanyak 3 kali, tidak perlu dibuka kepangnya, berdasarkan hadits dari Ummu Salamah ketika bertanya kepada Rasulullah,

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: «لَا. إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ».

“Wahai, Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub? Beliau menjawab, “Tak perlu (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah bagian tubuhnya yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci”.  ([11])

Namun jika ia membuka kepangnya maka itu lebih baik, berdasarkan sabda Nabi kepada Aisyah

انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي

“Bukalah kepangmu dan bersisirlah” ([12])

Namun jika kepangannya ternyata menghalangi air bisa sampai ke kulit kepalanya maka wajib untuk membuka kepangnya.

  1. Siram kepala 3 kali, yaitu sebagian di sebelah kepala kanan, sebagian di sebelah kepada kiri, dan sebagian di tengah kepala. Lalu dilanjutkan dengan menyiram seluruh anggota badan. ([13]) Lalu menyela-nyela jari ke seluruh kulit kepala.
  2. Mengguyur air ke seluruh badan, dan disunnahkan mendahulukan anggota badan yang kanan.

Ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” ([14])

  1. Berpindah tempat kemudian mencuci kedua kaki. Ini berdasarkan hadits Maimunah di atas. ([15])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1])HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316

([2]) HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317

([3]) HR. Bukhori no. 249

([4]) Fathul Baary 1/360

([5]) dan permasalahan membaca basmalah dalam mandi junub ini lebih ringan dari pada pembahasan dalam wudhu, berkata Ibnu Qudamah

ظَاهِرُ مَذْهَبِ أَحْمَدَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ التَّسْمِيَةَ مَسْنُونَةٌ فِي طَهَارَةِ الْأَحْدَاثِ كُلِّهَا.

“Dan yang tampak dalam madzhab Ahmad radhiyallahu ‘anhu bahwa basmalah hukumnya sunnah dalam thoharoh hadats secara keseluruhan.” Al-Mughni libni Qudamah 1/76

Lalu beliau berkata dalam masalah basmalah ketika mandi junub:

فَأَمَّا التَّسْمِيَةُ فَحُكْمُهَا حُكْمُ التَّسْمِيَةِ فِي الْوُضُوءِ عَلَى مَا مَضَى، بَلْ حُكْمُهَا فِي الْجَنَابَةِ أَخَفُّ؛ لِأَنَّ حَدِيثَ التَّسْمِيَةِ إنَّمَا تَنَاوَلَ بِصَرِيحِهِ الْوُضُوءَ لَا غَيْرُ.

“adapun basmalah maka hukumnya sama seperti hukum basmalah ketika berwudhu sebagaimana yang telah berlalu, bahkan hukumnya dalam masalah mandi janabah lebih ringan, hal ini dikarenakan hadits yang membahas tentang basmalah lafaznya hanya jelas dalam masalah wudhu, bukan selainnya.” Al-Mughni libni Qudamah 1/162

([6]) al-Mughni libni Qudamah 1/162

([7]) Disini kita dapati bahwa mencuci tangan lebih didahulukan daripada mencuci kemaluan, namun dikatakan oleh Ibnu Hajar bahwa hal ini tergantung keadaan, ia berkata:

وَفِيهِ تَقْدِيمُ غَسْلِ الْكَفَّيْنِ عَلَى غَسْلِ الْفَرْجِ لِمَنْ يُرِيدُ الِاغْتِرَافَ لِئَلَّا يُدْخِلَهُمَا فِي الْمَاءِ وَفِيهِمَا مَا لَعَلَّهُ يُسْتَقْذَرُ فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاءُ فِي إِبْرِيقٍ مَثَلًا فَالْأَوْلَى تَقْدِيمُ غَسْلِ الْفَرْجِ لِتَوَالِي أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ

“dan disini mengedepankan mencuci kedua tangan dari mencuci kemaluan bagi orang yang ingin menciduk agar ia tidak memasukkan kedua tangannya ke dalam air dan dikhawatirkan air akan terkotori disebabkan kedua tangannya, adapun jika air di dalam teko -misalnya-, maka yang lebih utama untuk mendahulukan mencuci kemaluan agar bisa mencuci anggota tubuh secara berurutan.” Fathul baary 1/363

([8]) Fathul baary 1/362

([9]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 2/186

([10]) berkta Ibnu Hajar:

ثُمَّ هَذَا التَّخْلِيلُ غَيْرُ وَاجِبٍ اتِّفَاقًا إِلَّا إِنْ كَانَ الشَّعْرُ مُلَبَّدًا بِشَيْءٍ يَحُولُ بَيْنَ الْمَاءِ وَبَيْنَ الْوُصُولِ إِلَى أُصُولِهِ

“kemudian menyela-nyela ini tidaklah wajib berdasarkan kesepakatan para ulama, kecuali rambutnya kusut dengan sesuatu yang menghalangi air ke pangkal kepalanya (maka wajib untuk disela-sela).” Fathul Bari 1/360

([11]) HR. Muslim no 330

([12]) HR Al-Bukhari no 316, di bab بَابُ امْتِشَاطِ المَرْأَةِ عِنْدَ غُسْلِهَا مِنَ المَحِيضِ “Wanita haid menyisir rambutnya ketika mandi bersih dari haid”

([13]) dan semuanya sepakat bahwa menyiram tiga kali hukumnya sunnah, berkata Ibnu Hajar:

وَفِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّثْلِيثِ فِي الْغُسْلِ قَالَ النَّوَوِيُّ وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا إِلَّا مَا تَفَرَّدَ بِهِ الْمَاوَرْدِيّ فَإِنَّهُ قَالَ لا يستحب التَّكْرَارُ فِي الْغُسْلِ

“di dalamnya menunjukkan mustahabnya membasuh tiga kali tiga kali, berkata An-Nawawi: kali tidak mengetahui adanya perselisihan kecuali bersendirinya al-Mawardi dalam masalah ini ia mengatakan tidak mustahabnya mengulang dalam membasuh.” (Fathul Bary 1/361)

([14]) HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268

([15]) Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, hal ini dikarenakan dalam hadits ‘Aisyah disebutkan “ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ” (kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat), sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa membasuh kaki dikedepankan bukan diakhirkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajr:

وَاسْتدلَّ بِهَذَا الحَدِيث على استحباب إِكْمَالِ الْوُضُوءِ قَبْلَ الْغُسْلِ وَلَا يُؤَخِّرُ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ إِلَى فَرَاغِهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ مِنْ قَوْلِهَا كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ وَهَذَا هُوَ الْمَحْفُوظُ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ

“dan berdalil dengan hadits ini atas mustahabnya menyempurnakan wudhu sebelum mandi, dan tidak mengakhirkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi, dan in yang tampak dari ucapannya “sebagaimana wudhunya untuk shalat” dan inilah yang tercantum dalam hadits ‘Aisyah dari sisi ini.” Fathul Bary 1/362

Namun terdapat hadits ‘Aisyah yang lain yang terdapat dalam shohih Muslim dari Abu Mu’awiyah:

«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ. ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ. ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ. ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ. حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ. ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ. ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ»

“bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam jka mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Lalu beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau beliau mengambil air dan memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya hingga ia meliahat sudah bersihi, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh badannya kemudian membasuh kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 316)

Dalam hadits ini secara jelas menyebutkan bahwa membasuh kaki letaknya diakhir, namun Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits-hadits ‘Aisyah yang ada memiliki dua kemungkinan:

  1. Maksud dari ucapannya “sebagaimana wudhunya untuk shalat” ialah berwudhu dengan sebagian besar anggota wudhunya selain kedua kakinya.
  2. Membawa hadits Abu Muawiyah sesuai dengan zhohirnya yaitu bolehnya memisahkan anggota wudhu.
  3. Kemungkinan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kakinya dua kali, ketika berwudhu kemudian mengulang membasuhnya ketika selesai mandi, maka ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Aisyah yang pertama (kemudian mengguyurkan air ke seluruh badannya).” (Fathul Bary 1/361)

Akan tetapi hadits di atas bertentangan dengan hadits Maimunah diatas secara jelas menerangkan bahwa kedua kaki dibasuh diakhir.

Dan Ibnu Hajar membawakan pendapat-pendapat para ulama dalam kitabnya Fathul Bary, dia berkata:

فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى اسْتِحْبَابِ تَأْخِيرِ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ فِي الْغُسْلِ وَعَنْ مَالِكٍ إِنْ كَانَ الْمَكَانُ غَيْرَ نَظِيفٍ فَالْمُسْتَحَبُّ تَأْخِيرُهُمَا وَإِلَّا فَالتَّقْدِيمُ وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فِي الْأَفْضَلِ قَوْلَانِ قَالَ النَّوَوِيُّ أَصَحُّهُمَا وَأَشْهَرُهُمَا وَمُخْتَارُهُمَا أَنَّهُ يُكْمِلُ وُضُوءَهُ، قَالَ الْقُرْطُبِيُّ الْحِكْمَةُ فِي تَأْخِيرِ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ لِيَحْصُلَ الِافْتِتَاحُ وَالِاخْتِتَامُ بِأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ

“mayoritas ulama berpendapat mustahabnya untuk mengakhirkan membasuh kedua kaki ketika mandi, dan dari Malik: jika tempatnya tidak bersih maka yang mustahab mengakhirkan keduanya jika bersih maka yang mustahab mengedepankannya. Dan menurut Madzhab Syafi’iyyah yang lebih utama ada dua pendapat, berkata An-Nawawi yang paling benar dan paling masyhur dan yang dipiling adalah menyempurnakan wudhu (maka ketika menyempurnakan wudhu berarti membasuh kaki dikedepankan tidak diakhirkan). Berkata Al-Qurthuby: hikmah dari diakhirkannya mencuci kedua kaki adalah agar tercapai memulai dan menutup proses mandi dengan anggota wudhu.” (Fathul Bary 1/362)

Dan Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa antara hadits Aisyah dan Maimunah ada kemungkinan untuk digabungkan:

  1. Membawa hadits Aisyah bahwa ucapannya “sebagaimana wudhuny untuk shalat” kepada majaz bukan hakikatnya, yang maksudnya membasuh kebanyakan anggota wudhunya selain kedua kakinya.
  2. Bahwa keduanya bisa digunakan tergantung keadaan keduanya (Lihat Fathul Bari 1/361-362). dan yang kedua ini mungkin seperti apa yang disampaikan oleh imam Malik di atas.
Categories
Thaharah

Tata Cara Mandi Wajib Minimal Sah

Ada 2 cara mandi junub:

  1. Tata cara mandi yang wajib
  2. Tata cara mandi yang sempurna

Tata Cara Mandi Wajib Minimal Sah

Maka hanya ada 2 perkara saja:

    1. Niat.
    2. Mengguyur seluruh badan dengan air sampai tidak ada lekukan badan yang terluput dari siraman air.

Hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah:

فَصْلٌ: فَعَلَى هَذَا تَكُونُ وَاجِبَاتُ الْغُسْلِ شَيْئَيْنِ لَا غَيْرُ؛ النِّيَّةُ، وَغَسْلُ جَمِيعِ الْبَدَنِ

“fasal: maka dengan ini wajib-wajib mandi hanya ada dua dan tidak ada yang lainnya: niat dan membasuh seluruh badan.” ([1])

صفة واجبة، وهي أن يعم بدنه كله بالماء، ومن ذلك المضمضة والاستنشاق، فإذا عمم بدنه على أي وجه كان فقد ارتفع عنه الحدث الأكبر وتمت طهارته، لقول الله تعالى: (وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا)

“sifat yang wajib adalah mengguyur air ke seuluruh badannya, dan masuk kedalmnya madhmadhoh dan istinsyaq, maka jika ia mengguyur seluruh badannya dengan air dengan cara apapun maka hadats yang besar telah hilang dan bersucinya telah sempurna.” ([2])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) al-Mughni 1/162

([2]) Majmu’ Fatawa Wa Rasaail al-‘Utsaimin 11/225

Adapun berkumur-kumur maka hukumnya sunnah, insyaAllah akan dijelaskan setelah ini.

Categories
Thaharah

Tata Cara Mengusap Perban Ketika Wudhu, Saat Orang Sakit Hendak Berwudhu

Tata Cara Mengusap Perban Ketika Wudhu

Tata cara mengusap perban atau semisalnya adalah dengan mengusap seluruh bagian perban, karena pada asalnya mengusap perban adalah pengganti dari anggota badan yang diperban. Sementara disebutkan dalam sebuah kaidah: “Hukum pengganti adalah sama dengan yang digantikan”. Mengusap perban adalah ganti dari membasuh. Sebagaimana ketika membasuh kita wajib menyiramkan air ke seluruh bagian anggota wudhu, demikian juga mengusap perban, maka wajib mengusap seluruh bagian perban. Adapun mengusap khuf keadaannya berbeda, karena mengusap khuf merupakan keringanan syariat, dan terdapat tata cara khusus yang dijelaskan dalam sunnah tentang dibolehkannya mengusap sebagiannya saja. ([1])

Perbedaan antara mengusap khuf (sepatu) dan mengusap perban

Ada empat perbedaan antara mengusap khuf (sepatu) dan mengusap perban:

    1. Mengusap perban tidak khusus pada bagian tubuh tertentu. Sedangkan mengusap khuf khusus untuk kaki (dan mengusap khuf hanya untuk punggung kaki saja, adapun jabiroh maka semuanya).
    2. Mengusap perban boleh dilakukan ketika hadats besar maupun hadats kecil. Sedangkan mengusap khuf hanya boleh dilakukan untuk hadats kecil seperti tidur, buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK).
    3. Mengusap perban tidak dibatasi waktunya. Sedangkan mengusap khuf dibatasi waktunya, yaitu untuk orang mukim selama sehari semalam dan musafir selama tiga hari tiga malam (perhitungannya dimulai setelah mengusap khuff yang pertama).
    4. Mengusap perban tidak disyaratkan untuk mengenakannya dalam keadaan (bersuci) terlebih dahulu. Inilah pendapat terkuat dari perselisihan para ulama. Sedangkan mengusap khuf harus dengan thoharoh (bersuci seperti berwudhu) terlebih dahulu sebelum mengenakan khuf (sepatu) tersebut, lalu nantinya boleh cukup diusap saat sampai pada kaki. ([2])

([1]) Buhuuts wa Fatawa fii Mashi ‘alal-Khuffain 1/52-53

([2]) Lihat Syarhul Mumthi’, 1/250-251

Categories
Thaharah

Mengusap Jabirah (Perban atau Semisalnya) Ketika Wudhu

Mengusap Jabīrah (Perban atau Semisalnya)

Pada asalnya yang disebut sebagai jabīrah adalah sesuaatu yang digunakan untuk membalut tulang yang patah. Adapun menurut ‘urf (umumnya anggapan) ulama ahli fiqh adalah sesuatu yang diletakan pada anggota ibadah bersuci (seperti wudhu), karena adanya suatu kebutuhan tertentu. Misalnya gips yang digunakan untuk menambal tulang yang patah atau dapat pula berupa perban yang digunakan pada anggota badan yang terluka. Maka mengusap yang semacam ini dapat menggantikan kewajiban membasuh. Sebagai contoh, seandainya ada seseorang yang akan berwudhu, sedang di tangannya ada perban yang digunakan untuk menutupi luka pada tangannya tersebut, maka mengusap perban dapat menggantikan membasuh tangan bagi orang tersebut. ([1]) Demikian juga jika ia mandi junub, maka cukup mengusap bagian perban tersebut sebagai ganti dari membasuh tangannya.

Adapun dalil yang menyebutkan bolehnya mengusap jabiirah (perban) adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu:

خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ: «قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ علَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا »

“Kami keluar untuk bersafar, kemudian salah seorang di antara kami ada yang terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian orang tersebut mimpi basah, lalu orang tersebut bertanya kepada para sahabatnya: “Apakah kalian mendapati keringanan bagiku untuk melakukan tayamum?” Mereka menjawab: “Kami tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu sementara kamu mampu untuk menggunakan air.” Kemudian orang tersebut mandi, lalu meninggal. Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau diberi tahu tentang hal ini, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya jika mereka tidak tahu, sesungguhnya obat tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya untuk bertayamum dan menutup lukanya tersebut dengan potongan kain, kemudian dia mengusap di atasnya” ([2])

Luka pada anggota wudhu

Terdapatnya luka pada anggota wudhu terbagi menjadi beberapa tingkatan:

Pertama: Luka tersebut dalam keadaan terbuka dan tidak membahayakan baginya jika terkena air. Dalam keadaan ini tetap wajib untuk membasuh anggota badan yang luka tersebut.

Kedua: Luka tersebut terbuka akan tetapi dapat membahayakan jika terkena air. Dalam keadaan ini wajib untuk mengusap anggota badan tersebut tanpa harus membasuhnya.

Ketiga: Luka tersebut terbuka dan dapat membahayakan jika dibasuh maupun diusap, dalam keadaan ini maka cukup dengan diberi tayamum([3])

Keempat: Luka tersebut tertutup oleh perban atau semacamnya, dalam keadaan ini maka yang diusap adalah penutup luka, sebagai ganti membasuh anggota badan yang di bawahnya. ([4])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) Buhuuts wa Fatawa fii Mashi ‘alal-Khuffain 1/ 49

([2]) HR. Abu Daud no 336

([3]) Ada beberapa kondisi :

Pertama : Jika ada anggota wudhu yang tidak mungkin dibasuh tatkala wudhu atau mandi namun masih mungkin untuk diusap maka usapan tersebut menggantikan basuhan. Contoh ada luka yang terbuka masih mungkin untuk diusap namun tidak bisa dibasuh, maka tatkala itu cukup diusap. Demikian juga jika ada luka yang dibalut dengan perban atau gips maka cukup diusap sebagai pengganti basuhan.

Kedua : Jika anggota tubuh tersebut tidak mungkin untuk diusap (apalagi dibasuh), seperti luka parah yang terbuka, maka ada dua pendapat di kalangan para ulama :

  1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa “pembasuhan”bagian tubuh tersebut diganti dengan tayammum. Contoh dia ingin berwudhu, maka dia berwudhu seperti biasa hanya saja bagian yang terluka tidak terkena air sama sekali, maka sebagai penggantinya ia bertayammum. Maka dengan demikian ia menggabungkan wudhu dan tayammum. Demikian juga misalnya ia ingin mandi janabah, sementara bagian lukanya tidak boleh tersentuh air dan tidak boleh diusap. Maka ia mandi dengan membasuh bagian tubuh yang mungkin untuk dibasuh, sementara bagian yang terluka diganti dengan tayammum. Maka ia telah menggabungkan antara mandi dan tayammum. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Dan dalam hal ini boleh mendahulukan tayammum sebelum wudhu/mandi, atau sebaliknya mendahulukan wudhu/mandi sebelum tayammum.
  2. Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban mengusap bagian tubuh tersebut gugur, dan tidak perlu diganti dengan tayammum. Maka dalam contoh yang sebelumnya ia cukup wudhu saja dengan membasuh bagian tubuh yang mungkin ia basuh tanpa tayammum. Demikian juga ketika mandi ia cukup membasuh anggota tubuh yang mungkin untuk dibasuh tanpa tayammum. Dan pendapat ini lebih kuat wallahu a’lam karena tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan digabungkannya dua cara berthaharah dalam sekali waktu. Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama (tentang menggabungkan antara tayammum dan mandi junub) maka haditsnya dhoif (Lihat https://almosleh.com/ar/16714)

([4]) Buhuuts wa Fatawa fii Mashi ‘alal-Khuffain 1/50-51

Categories
Thaharah

Mengusap Khuf (sepatu) dan Jaurob (Kaos Kaki) Saat Wudhu

Mengusap Khuf (sepatu) dan Jaurob (Kaos Kaki) 

Mengusap khuff (dan yang sehukum dengannya seperti kaus kaki yang menutupi mata kaki) masih termasuk cara bersuci dengan berwudhu, hanya saja ketika sampai bagian kaki maka tidak dibasuh seperti biasanya, karena kaki sedang mengenakan khuff, akan tetapi cukup dengan diusap di bagian atas. Namun orang yang boleh berwudhu dengan mengusap khuf atau kaus kaki adalah orang tersebut harus dalam kondisi suci tatkala memakai khuf atau kaus kaki tersebut.

Maka dari sini bisa kita katakan caranya seperti berikut:

Pertama: Berniat wudhu seperti biasa

Hal ini dikarenakan mengusap khuf termasuk bagian dari wudhu, hanya saja ketika sampai pada membasuh kaki, diganti dengan mengusap khuf (sepatu dan kaus kaki yang menutupi mata kaki). Jadi mengusap khuf adalah pengganti mencuci kedua kaki

Kedua: Berwudhu dengan wudhu seperti biasa hingga mengusap kepala

Ketiga: Ketika sampai pada bagian kaki, maka saat ini memulai mengusap khuf.

Syaikh Shalih ibn Fauzan menjelaskan caranya:

  • – Meletakkan telapak -sekaligus jari- yang telah dibasahi dengan air di atas jari-jari kaki.
  • – Tangan kanan diletakkan di atas jemari kaki kanan. Tangan kiri diletakkan di atas kaki kiri.
  • – Kedua tangan digerakkan atau disapukan hingga bagian atas yaitu punggung pergelangan kaki.
  • – Pengusapan dilakukan sekali saja. Tidak perlu diulang. ([1])

Dan perlu diketahui bahwa mengusap khuf hanya punggungnya saja, hal ini berdasarkan yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib:

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ. وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Kalau agama itu berdasarkan akal maka bagian bawah khuf lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya (karena bagian yang kotor adalah bagian bawah khuf –pent). Sungguh aku telah melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuf. ([2])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) Lihat kitab Mulakhkhas al-Fiqhiyy, hal 30.

([2]) Riwayat Abu Dawud no 162 dan dishohihkan oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33 dan al-irwa’ no 103

Categories
Thaharah

Mencuci Kaki Sampai Mata Kaki Ketika Wudhu

Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, demikian pula yang kiri.

Yang diwajibkan dalam masalah wudhu adalah membasuh kedua kaki dan tidak cukup mengusapnya([1]). Dalil yang menunjukkan bahwa yang wajib adalah membasuh kaki adalah riwayat Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma, dia berkata:

تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنَّا فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الْعَصْرَ (أي أخرنا العصر) فَجَعَلْنَا نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا

” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tertinggal oleh kami dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Lalu beliau menyusul kami dan kami menunda Shalat Asar. Maka kami berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami. Maka beliau berseru dengan suara keras: Celakalah tumit-tumit itu dari neraka. Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali.” ([2])

Batasan dalam membasuh kaki adalah sampai mata kaki. Dan hati-hati dalam membasuh kaki, jangan sampai tumit tidak terkena air wudhu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang tidak membasuh tumitnya, maka beliau bersabda:

وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit itu dari neraka.” ([3])

Catatan:

Pertama: Yang wajib dalam membasuh anggota wudhu adalah masing-masing dilakukan satu kali, ini adalah berdasarkan kesepakatan para ulama. Adapun membasuh dua atau tiga kali maka ini adalah sunnah. ([4])

Kedua: Dalam wudhu seluruh anggota tubuh dibasuh kecuali kepala (termasuk kedua telinga) maka hanya diusap.

Adapun membasuh maka yang wajib adalah mengalirnya air ke anggota tubuh tersebut dan tidak harus digosok. An-Nawawi berkata :

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ يَكْفِي فِي غَسْلِ الْأَعْضَاءِ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ جَرَيَانُ الْمَاءِ عَلَى الْأَعْضَاءِ وَلَا يُشْتَرَطُ الدَّلْكُ وَانْفَرَدَ مَالِكٌ وَالْمُزَنِيُّ بِاشْتِرَاطِهِ

“Dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwasanya cukup dalam wudhu membasuh anggota wudhu. Dan membasuh adalah mengalirnya air pada anggota wudhu, dan tidak disyaratkan menggosoknya. Dan Malik dan al-Muzani mempersyaratkannya” ([5])

Namun untuk bagian jari-jari kaki maka disunnahkan untuk menyela-nyelanya bukan karena menggosoknya akan tetapi agar memastikan bagian tersebut terkena aliran air. ([6])

Adapun mengusap (kepala dan telinga) maka cukup dengan membasahi telapak tangan (dan airnya dibuang), lalu mengusapkan telapak tangan tersebut ke kepala. Jadi tidak ada aliran air di kepala, karena yang dimaksud bukanlah membasuh tapi mengusap.

Ketiga : Harus tertib berurutan dalam urutan membasuh anggota wudhu, tidak boleh mendahulukan satu anggota dari anggota wudhu yang lain. yaitu sesuai dengan urutan yang terdapat dalam ayat wudhu.

Keempat : Harus bersambungan, tidak terputus jeda waktu dalam berwudhu antara satu anggota wudhu dengan anggota tubuh yang lainnya.

Kelima : Pendapat mayoritas ulama ketika membasuh wajah tidak perlu sampai leher, demikian juga ketika membasuh kaki tidak perlu sampai ke betis (cukup sampai ke kedua mata kaki), dan ketika mencuci tangan tidak perlu sampai ke lengan atas (tapi cukup sampai siku).

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

 ([1]) Lihat: Syarh Mukhtashor Kholil 2/212

 ([2]) HR Bukhari No. 163 dan Muslim No. 241

 ([3]) Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Terdapat banyak riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang tata cara wudhu beliau bahwa beliau membasuh kedua kakinya, dan beliau adalah yang menjelaskan perintah Allah. Tidak terdapat riwayat dari seorang shahabat pun yang menyelisihinya, kecuali ada riwayat dari Ali, Ibnu Abbas dan Anas. Akan tetapi terdapat riwayat kuat bahwa mereka menarik kembali pendapatnya. Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sepakat bahwa kaki itu dibasuh. Hal ini diriwayatkan dari Said bin Manshur.” (Fathul Bari, 1/320)

([4]) Berkata Ibnu Rusyd:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ مِنْ طَهَارَةِ الْأَعْضَاءِ الْمَغْسُولَةِ مَرَّةً مَرَّةً إِذَا أَسْبَغَ، وَأَنَّ الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِمَا

“Para ulama sepakat bahwa kadar yang wajib dalam membasuh anggota wudhu adalah masing-masing satu kali, adapun dua kali dan tiga kali maka itu sunnah.” (Bidaayatul Mujtahid Wa Nihaayatul Muqtashid 1/19)

Berkata Imam An-Nawawi:

وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ فِي غَسْلِ الْأَعْضَاءِ مَرَّةً مَرَّةً وَعَلَى أَنَّ الثَّلَاثَ سُنَّة

“Sungguh ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa yang wajib dalam membasuh anggota wudhu adalah masing-masing satu kali dan membasuh tiga kali adalah sunnah.” (Al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim Ibn Al-Hajjaj 3/106)

([5]) Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 3/107. Yang benar tidak dipersyaratkan menggosok, karena secara bahasa air yang mengalir di anggota wudhu sudah dikatakan al-gushl (membasuh).

([6]) Lihat Syarh al-Úmdah, Ibnu Taimiyyah 1/367-368

Categories
Thaharah

Mengusap Kepala dan Kedua Telinga Saat Wudhu

Mengusap Kepala dan Kedua Telinga Saat Wudhu

Hukumnya adalah wajib. Imam an-Nawawi berkata: “Mengusap kepala hukumnya wajib berdasarkan Al-Kitab, sunnah, dan ijma’.”  ([1])

Adapun caranya, maka yang disebutkan dalam hadits ada dua cara:

Pertama: Meletakkan kedua tangan yang sudah dibasahi dengan air di permulaan kepala kemudian mengusapnya hingga bagian belakang kepala, kemudian kembali lagi ke permulaan kepala. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah Bin Zaid ketika ditanya oleh seseorang,

أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي، كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ: نَعَمْ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ “

“Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu?” Abdullah bin Zaid menjawab, “Tentu.” Abdullah lalu minta diambilkan air wudhu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak tiga kali, kemudian membasuh muka tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan masing-masing dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, dimulai dari bagian depan dan menariknya sampai pada bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula, setelah itu membasuh kedua kakinya.” ([2])

Tata cara ini sesuai untuk rambut pendek, karena tidak membuat berantakan saat kedua tangan kembali ke depan kepalanya.

Kedua: Mengusap semua kepalanya akan tetapi sesuai dengan arah rambut, yaitu ketika mengusap tidak mengubah rambut dari posisinya. Hal ini berdasarkan hadits Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz:

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ عِنْدَهَا فَمَسَحَ الرَّأْسَ كُلَّهُ، مِنْ قَرْنِ الشَّعْرِ كُلِّ نَاحِيَةٍ، لِمُنْصَبِّ الشَّعْرِ، لَا يُحَرِّكُ الشَّعْرَ عَنْ هَيْئَتِهِ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu di sisinya, beliau mengusap semua kepalanya, dari ubun-ubunnya (kepala bagian atas) ke setiap sisi sampai kepala bagian bawah rambut, tanpa membuat rambutnya berubah dari keadaan yang semula.” ([3])

Tata cara seperti ini dilakukan bagi orang yang khawatir rambutnya berantakan.

Dan juga disunnahkan untuk mengusap semua kepalanya, adapun mengusap sebagian saja maka tidak mencukupi. ([4])

Yang disunnahkan saat membasuh kepala adalah sekali

Mengusap kedua telinga

Hukum mengusap kedua telinga adalah adalah sunnah. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. ([5])

Ketika mengusap kepala langsung disertai mengusap kedua telinga, tanpa dipisah. Sesuai dengan hadits:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، فِيْ صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ

“Dari Abdillah bin ‘Amr tentang sifat wudhu, ia berkata: Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dan memasukkan dua jari telunjuk beliau ke dalam kedua telinga dan mengusap bagian luar kedua telinga dengan kedua ibu jari beliau.” ([6])

Dan juga hadits Ibnu Abbas:

أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرَهمَا وَبَاطِنَهُمَا

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dan kedua telinga, bagian luar dan bagian dalam”. ([7])

Berkata Ibnul Qoyyim: “Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinga”. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air baru yang bukan dari air bekas mengusap kepala adalah riwayat lemah. Yang shohih adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk membasuh) kedua tangannya. ([8])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) Al-Majmu’ 1/395

([2]) HR. Bukhori No. 185

([3]) HR. Abu Dawud No. 128 dan dihasankan oleh Al-Albani

Terjemahan hadits disesuaikan dengan penjelasan Kholil bin Ahmad As-Saharonfuri dalam Kitab Badzlul Majhud Fii Hilli Sunani Abii Dawud 1/575 dan lihat juga Áunul Ma’buud 1/149

([4]) Setelah para ulama sepakat wajibnya mengusap kepala, mereka berbeda pendapat tentang batasan wajib dalam mengusap tersebut:

Pendapat pertama: Wajib mengusap seluruh kepala, ini adalah pendapat madzhab Malikiyyah, Hanabilah, dan pendapat yang dipilih oleh al-Muzani (Lihat al-Muntaqo 1/38, al-Inshof 1/161, Mukhtashor al-Muzani hlm. 2)

Pendapat kedua: Wajib mengusap sebatas ubun-ubun saja, yaitu sekitar ¼ kepala, batasannya dengan 3 jari, jika kurang dari itu maka tidak sah. Dan ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah. (Lihat: al-Mabshut 1/63)

Pendapat ketiga: Batasan minimal wajibnya adalah dengan apa yang dinamakan dengan mengusap, walaupun mengusap sehelai rambut, maka ini sudah dikatakan telah mengusap dan sudah sah. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:

قَالَ أَصْحَابُنَا حَتَّى لَوْ مَسَحَ بَعْضَ شَعْرَةِ وَاحِدَةٍ أَجْزَأَهُ

“berkata ulama-ulama madzhab kami: walaupun mengusap sebagian dari satu helai rambut maka itu mencukupinya (sah).” (Al-Majmu’ 1/398)

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyatakan wajib mengusap semua kepala. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: Para ahli fikih berbeda pendapat tentang mengusap sebagian kepala. Imam Malik berkata, yang wajib adalah mengusap semua kepala, jika dia meninggalkan sebagian darinya, maka itu bagaikan meninggalkan basuhan pada sebagian wajah. Ini adalah pendapat yang dikenal dalam mazhab Malik, dan ini merupakan pendapat Ibnu Aliyah. Ibnu Aliyah berkata, Allah telah memerintahkan untuk mengusap kepala dalam berwudhu sebagaimana Dia memerintahkan mengusap muka dalam tayammum. Dia memerintahkan membasuhnya dalam berwudu. Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh membasuh sebagian wajah atau mengusap sebagiannya pada tayammum, maka demikian halnya dalam mengusap kepala. (At-Tamhid, 20/114)

Berkata Ibnul Qoyyim: “Tidak ada satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala” (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubun beliau ketika memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:

عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ

“Dari Mugiroh bin Syu’bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu’ lalu beliau mengusap ubun-ubun dan atas sorban beliau dan mengusap kedua khuf beliau. (HR. Muslim No. 247)

Adapun dalil mazhab Hanafi dan Syafii di antaranya adalah:

Pertama: Firman Allah Ta’āla:

وامْسَحُوا بِرُءُوسِكُم

“Dan usaplah kepala kalian”

Mereka katakan bahwa huruf ‘ba’ dalam ayat tersebut berfungsi littab’idh (menyatakan sebagian), seakan-akan Allah berfirman ‘Usaplah sebagian kepala kalian’.

Pendalilan ini dibantah bahwa huruf ‘ba’ tersebut tidak berfungsi littab’idh (menyatakan sebagian) akan tetapi lil-ilshaq (menempel), maksudnya kepala harus menempel dengan tangan yang diusapkan di atasnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Lihat Majmu Fatawa 21/123)

Juga ayat perintah mengusap kepala adalah bersifat mujmal (global), lalu dijelaskan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua: Hadits yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa salam mengusap ubun-ubun dan imamah beliau”. (HR. Muslim no. 247) Mereka berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya mengusap ubun-ubun, yaitu bagian depan kepala beliau.

Alasan ini dibantah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengusap ubun-ubun dan menyempurnakan usapannya dengan mengusap imamah beliau. Mengusap imamah menggantikan usapan kepala.

Ibnu Qayim rahimahullah berkata: Tidak ada satupun riwayat sahih yang menunjukkan bahwa beliau hanya mengusap sebagian kepalanya saja, akan tetapi jika beliau mengusap ubun-ubun, lalu beliau menyempurnakannya dengan mengusap imamah. (Zaadul Ma’ad 1/193)

Syaikh Utsaimin, rahimahullah berkata: Dibolehkannya mengusap ubun-ubun di sini adalah karena bersama itu beliau mengusap imamahnya. Maka riwayat ini tidak menunjukkan dibolehkannya mengusap ubun-ubunnya saja. (Syarh Al-Mumti’, 1/178)

 ([5]) Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 43/364.

Ulama Hanabilah mengatakan bahwa mengusap telinga hukumnya adalah wajib. (lihat Kasysyaafil Qina’ 1/100)

 ([6]) Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah

 ([7]) Hadits shohih, dishohihkan oleh Tirmidzi, lihat Irwaul Golil No. 90

 ([8]) Lihat: Zadul Ma’ad 1/187, Taudlihul Ahkam 1/180

Categories
Thaharah

Membasuh Kedua Tangan Sampai Siku Ketika Wudhu

Membasuh Kedua Tangan Sampai Siku Ketika Wudhu

Membasuh ujung-ujung jari hingga ke siku. Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri hingga siku-siku (siku-siku masuk dalam basuhan). ([1])

Ketika membasuh tangan, telapak tangan tetap dibasuh lagi, walaupun sudah dibasuh di awal.

Bukan termasuk sunnah:

Pertama: Menyela-nyela jari tangan hukumnya bukanlah sunnah, tetapi istihsan (dianggap baik) dari para ulama.

Kedua: Menyela jari-jari kaki dengan jari tangan kelingking, ini istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad: …Dalam (kitab) sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata : “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya”. Kalau riwayat ini benar maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melakukannya sesekali. Karena sifat ini tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan lainnya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah.” ([2])

Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) Terdapat perbedaan pendapat apakah siku-siku masuk dalam basuhan tangan atau tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah:

وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“(Dan basuhlah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku”.

Dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid 1/18 bahwa ada dua sebab yang menyebabkan perbedaan pendapat:

Pertama: Pemahaman mereka dalam memahami huruf “ila”.

Karena “ila” dalam Bahasa Arab bisa memiliki dua arti; yaitu akhir dari puncak dan berarti “ma’a” yaitu bersama.

Kedua: Arti “Al-Yadu” dalam Bahasa Arab bisa dimutlakkan untuk tiga hal; untuk pergelangan, bisa juga untuk lengan, atau sampai lengan atas.

Siapa yang memahami “ila” bermakna “ma’a” yaitu bersama dan memahami tangan dengan lengan atas, maka ia berpendapat bahwa siku termasuk yang dibasuh. Sedangkan siapa yang memahami “ila” bermakna puncak tujuan, maka dia tidak memasukkan siku ke dalam basuhan tangan.

Dari sini ada dua pendapat yang kuat:

Pendapat pertama: Siku masuk ke dalam basuhan, ini adalah pendapat jumhur. (Dari madzhab Hanafiyyah lihat Badaa-I’u As-Shonaai’ 1/4, dari madzhab Malikiyyah lihat Hasyiyath ad-dusuqy 1/87, dari madzhab Syafi’iyyah lihat al-Hawi al-Kabir 1/112, dan dari madzhab Hanabilah lihat al-Inshof 1/157)

Pendapat kedua: Siku tidak masuk ke dalam basuhan tangan, ini adalah pendapat Zufar, Abu Bakar bin Dawud (lihat Badaa-I’u As-Shonaai’1/4), dan salah satu riwayat dari Malik (lihat: al-Muntaqho 1/36), dan Ahmad (lihat: al-Inshof 1/157).

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena pendapat kedua hanya berdalil dengan ayat dan memahami bahwa “ila” dalam Bahasa Arab bermakna penghabisan tujuan. Akan tetapi dijawab bahwa “ila” juga bisa bermakna “ma’a”, dikuatkan lagi dengan hadits Abu Huroiroh:

عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْمُجْمِرِ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ، ثُمَّ يَدَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ “، ثُمَّ قَالَ: ” هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ. وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتُمُ الْغُرُّ الْمُحَجَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ إِسْباغِ الْوُضُوءِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكمْ فَلْيُطِلْ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيلَهُ»

Dari Nu’aim bin Abdullah Al Mujmir, ia berkata, “Saya pernah melihat Abu Hurairah berwudhu, dia membasuh wajahnya lalu menyempurnakan wudhu, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke lengan atasnya, kemudian tangan kirinya hingga ke lengan atasnya, lalu mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya hingga ke betisnya, kemudian membasuh kaki kirinya hingga ke betisnya, kemudian dia berkata, “Demikianlah saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” Dan dia (Abu Hurairah) mengatakan, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Kalian akan berwajah putih bersinar dan juga tangan serta kakimu pada hari kiamat, karena kalian menyempurnakan wudhu. Barang siapa di antara kalian mampu, maka hendaklah ia memanjangkan cahaya muka dan tangan serta kakinya.” (HR. Muslim no. 246)

([2]) Syarhul Mumti’ 1/143