Bolehkan Badal Haji dan Umroh?
Berikut ini hukum-hukum yang berkaitan dengan Badal Haji dan Umroh
Pertama : Seseorang yang mampu maka haji atau umrohnya tidak boleh dibadalkan dengan kesepakatan para ulama (lihat al-Ijmaa’, Ibnul Mundzir hal 59)
Kedua : Seorang yang tidak mampu untuk berhaji/berumroh maka boleh dibadalkan hajinya. Dan yang tidak mampun ini ada dua model (1) sudah meninggal dunia dan (2) masih hidup akan tetapi kondisinya sudah tidak mampu lagi untuk melaksanakan haji. Seperti tidak mampu untuk naik kendaraan karena begitu tuanya atau mengalami sakit yang susah diharapkan kesembuhannya menurut medis.
Ketiga : Jika sudah meninggal maka ada dua kondisi :
- Ia meninggal dalam kondisi telah terkena kewajiban haji, yaitu ia meninggalkan harta yang cukup baginya untuk melaksanakan haji. Maka wajib untuk dihajikan (dibadalkan), sama saja apakah ia telah mewasiatkan hal itu atau ia tidak mewasiatkan. Maka diambil dari hartanya -sebelum dibagi sebagai harta warisan- untuk biaya badal hajinya.([1]). Hal ini berdasarkan hadits-hadits Nabi shallallahu álaih wasallam dan dikuatkan dengan fatwa sahabat([2])
Demikian pula boleh seseorang berbuat baik untuk menghajikan mayat tersebut meskipun bukan dari harta sang mayat, atau misalnya ketika masih hidup ia sudah terkena kewajiban haji, namun ketika meninggal ia tidak meninggalkan harta yang cukup untuk biaya hajinya, maka dalam kondisi seperti ini tidak wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya, akan tetapi disunnah untuk menghajikannya. Hal ini diperbolehkan apakah dengan izin sang mayat sebelum meninggal ataupun tanpa izinnya, bahkan demikian pula apakah yang akan menghajikan ahli warisnya atau bukan. Hal ini sebagaimana boleh bagi seorang ajnabi (bukan ahli waris) membayarkan hutang mayit meskipun sang mayit tidak mewashiatkannya untuk melakukan hal tersebut, maka demikian juga hutang haji([3]).
- Ia meninggal dalam kondisi sudah berhaji (haji pertama/haji Islam), apakah boleh menghajikan sang mayat haji sunnah (bukan haji Islam)?. Maka dalam permasalahan ini ada dua pendapat dikalangan para ulama, membolehkan([4]). dan melarang([5]). Namun yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan. Karena :
- Telah datang dalil tentang bolehnya haji badal pada haji Islam (haji wajib), maka demikian pula boleh pada haji sunnah. Hukum asalnya adalah kesamaan antara yang wajib dan yang sunnah sampai ada dalil yang membedakan, dan tidak ada dalil yang membedakan.
- Justru untuk perkara yang sunnah tidak begitu seketat perkara yang wajib, maka jika yang wajib saja diperbolehkan apalagi yang sunnah.
Keempat : Ia masih hidup namun tidak mampu untuk melaksanakan haji, karena sangat tua atau tidak mampu naik kendaraan atau karena penyakit yang secara medis sulit untuk disembuhkan, maka
- Jika ia mampu secara ekonomi (meskipun fisiknya tidak mampu) maka wajib baginya untuk menyerahkan orang lain untuk menghajikannya.
Ibnu Ábbas meriwayatkan tatkala haji wadaa’, ada seorang wanita dari Khosyám bertanya kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang Allah wajibkan terhadap para hambaNya telah mengenai ayahku yang sudah dalam kondisi tua, ia tidak kokoh untuk naik di atas tunggangan. Maka apakah aku menghajikannya?”.
Maka Nabi shallallahu álaihi wasallam menjawab, نَعَمْ “Ya” (HR Al-Bukhari no 1513 dan Muslim no 1334)
- Disyaratkan orang yang menghajikan harus mendapat izin dari orang yang ia hajikan berbeda jika menghajikan mayit maka tidak perlu izin darinya ketika masih hidup (lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/226-227)
- Jika ternyata setelah dihaji badalkan ternyata ia sembuh maka menurut pendapat yang lebih kuat hajinya sudah sah dan ia tidak perlu berhaji lagi, karena haji badal yang dikerjakan untuknya ketika ia sakit telah memenuhi persyaratan.
- Demikian juga boleh menghajikannya untuk haji sunnah. Yaitu jika ia telah haji Islam, lalu ia sakit dan tidak mampu lagi untuk haji, maka boleh haji badal untuknya meski haji sunnah.
Kelima : Syarat orang yang hendak melakukan haji badalnya ia harus sudah haji terlebih dahulu([6]). Ibnu Ábbas berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، قَالَ: «مَنْ شُبْرُمَةُ؟» قَالَ: أَخٌ لِي – أَوْ قَرِيبٌ لِي – قَالَ: «حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ»
“Bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik untuk Syubrumah”. Nabi bertanya, “Siapa Syuburmah?”. Ia berkata, “Saudaraku” atau “Kerabatku”. Nabi berkata, “Engkau sudah haji?”. Ia berkata, “Belum”. Nabi berkata, “Hajikan dulu dirimu baru hajikan Syubrumah !” (HR Abu Dawud no 1811, Ibnu Majah no 2903, Ibnu Khuzaimah no 3039, Ibnu Hibban no 3988, dan At-Thobroni no 12419, dishahihkan oleh Al-Albani dan al-Arnaúth)
Keenam : Tidak mengapa seorang lelaki menghajikan badal seorang wanita dan juga sebaliknya([7]).
Ketujuh : Jika seseorang hendak menghajikan kerabatnya maka yang paling utama adalah menghajikan haji badal untuk ibunya lalu menghajikan ayahnya, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam memerintahkan untuk berbuat baik kepada Ibu lebih didahulukan atas ayah.
Kedelapan : Apa yang berlaku pada haji berlaku juga pada umroh, karenanya disyaratkan juga bagi orang yang hendak mengumrohkan orang lain hendaknya ia sendiri telah umroh. Karena asalnya hukum yang berlaku bagi haji berlaku pula bagi umroh hingga ada dalil yang membedakan.
Kesembilan : Tidak mengapa seseorang tatkala melakukan haji tamattu’ lantas umrohnya ia niatkan untuk membadalkan ibunya dan hajinya untuk dia sendiri, atau sebaliknya umrohnya ia niatkan untuk dirinya sendiri, dan hajinya untuk membadalkan ibunya.
Kesepuluh : Hukum asalnya jika seseorang menghajikan atau mengumrohkan badal orang lain maka pahalanya untuk yang dihajikan/diumrohkan tersebut.
Ulama al-Lajnah ad-Daimah berkata :
مَنْ حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ عَنْ غَيْرِهِ بِأُجْرَةٍ أَوْ بِدُوْنِهَا فَثَوَابُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ لِمَنْ نَابَ عَنْهُ، وَيُرْجَى لَهُ أَيْضًا أَجْرٌ عَظِيْمٌ عَلَى حَسَبِ إِخْلاَصِهِ وَرَغْبَتِهِ لِلْخَيْرِ
“Barang siapa yang menghajikan atau mengumrohkan badal orang lain baik dengan ongkos atau tanpa ongkos maka pahala haji dan umroh untuk orang yang ia badalkan, dan diharapkan ia juga mendapatkan pahala yang besar sesuai dengan kadar keikhlashannya dan semangatnya untuk kebaikan” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 11/77-78)
Ini semua berkaitan dengan amal ibadah yang berkaitan dengan manasik haji dan umroh, adapun jika yang menghajikan melakukan ibadah-ibadah diluar manasik haji dan umroh seperti ia sholat fardu dan sholat sunnah di Masjidil Haram, demikian juga ia membaca al-Qurán selama haji, atau sholat sunnah di Mina, atau ia melakukan thowaf sunnah (selain thowaf haji dan umroh) maka pahalanya untuk dia dan bukan untuk yang ia badalkan. (lihat ad-Diyaau al-Laami’ min al-Kuthob al-Jawaami’, al-Útsaimin 2/478)
Kesebelas : Jika tidak mengetahui nama seseorang yang akan dihajikan atau diumrohkan maka tidak mengapa, yang penting adalah penentuan orang tersebut. Misalnya seseorang ingin menghajikan neneknya, sementara ia tidak mengetahui namanya, maka tidak mengapa, yang penting ia niatkan bahwa ia berhaji untuk neneknya tersebut (lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daaimah 11/172)
Ke dua belas : Seseorang yang hendak membayar orang lain untuk menghajikan/mengumrohkan badal untuk kerabatnya maka hendaknya ia memilih orang yang amanah untuk menjalankannya. Karena memang ada orang-orang yang tidak amanah yang hendak memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Diantaranya satu orang menerima dari 5 orang uang lalu ia badalkan untuk 5 orang, padahal satu orang hanya bisa membadalkan satu orang saja (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daaimah 11/58).
FOOTNOTE:
([1]) Ini adalah madzhab As-Syafiíyah (lihat al-Majmuu’, An-Nawawi 7/98), al-Hanabilah (lihat asy-Syarh al-Kabiir, Ibnu Qudamah 3/183), adz-Dzohiriyah. Bahkan menurut Ibnu Hazm penunaian hajinya dengan uangnya diduhulukan daripada membayar hutangnya kepada manusia, karena hutangnya kepada Allah lebih utama untuk dibayar (lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 5/41 masalah no 818).
([2]) Buraidah radhiallahu ánhu berkata :
بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، قَالَ: فَقَالَ: «وَجَبَ أَجْرُكِ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ» قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قَالَ: «صُومِي عَنْهَا» قَالَتْ: إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «حُجِّي عَنْهَا»
“Tatkala aku duduk di sisi Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tiba-tiba datang seorang wanita kepadanya lantas berkata, “Sesungguhnya aku telah mensedekahkan seorang budak wanita kepada ibuku, dan ibuku telah meninggal”. Nabi berkata, “Pahalamu telah tetap, dan warisan mengembalikan budakmu kepadamu”. Ia berkata, “Ya Rasulullah, ibuku punya kewajiban puasa sebulan, apakah aku berpuasa atasnya?”. Nabi berkata, “Berpuasalah atasnya”. Ia berkata, “Ibuku belum berhaji sama sekali, apakah aku menghajikannya?”. Nabi berkata, “Berhajilah atasnya” (HR Muslim no 1149)
Dari Ibnu Ábbas ia berkata :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ»
“Sesungguhnya seorang wanita Juhainah datang kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam lantas berkata, “Sesungguhnya ibuku bernadzar akan berhaji akan tetapi ia tidak berhaji hingga akhirnya ia wafat, maka apakah aku menghajikannya?”. Nabi berkata, “Iya, hajikan ibumu, bagaimana menurutmu jika ibumu berhutang, apakah engkau menunaikannya?. Tunaikanlah kepada Allah, maka Allah lebih utama untuk ditunaikan hutang kepadaNya” (HR Al-Bukhari no 1852)
Jika haji yang wajib karena nadzar saja hendaknya ditunaikan atas mayat maka apalagi haji Islam (haji pertama) lebih utama untuk ditunaikan atas mayat.
Demikian juga Ibnu Ábbas berfatwa demikian. Dari Íkrimah ia berkata:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَتْ: إِنْ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا حَجَّةٌ، أَفَأَقْضِيهَا عَنْهَا؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «هَلْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ؟» قَالَتْ: نَعَمْ: قَالَ: «فَكَيْفَ صَنَعْتِ؟» قَالَتْ: قَضَيْتُهُ عَنْهَا، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «فَاللَّهُ خَيْرُ غُرَمَائِكِ»
“Seorang wanita datang kepada Ibnu Ábbas lalu berkata, “Sesungguhnya ibuku meninggal dalam kondisi terkena kewajiban haji, apakah aku mengqodho hajinya?”. Ibnu Ábbas berkata, “Apakah ibumu punya hutang?”, ia berkata, “Iya”, Ibnu Abbas berkata, “Apa yang kau lakukan?”, ia berkata, “Aku melunasinya”, Ibnu Ábbas berkata, “Maka Allah adalah yang terbaik dari yang harus kau lunasi” (Atsar riwayat Ibnu Ábi Syaibah di al-Mushonnaf no 15006)
([3]) Lihat penjelasan an-Nawawi di al-Majmuu’ 7/110. Adapun dalilnya : Ibnu Ábbas berkata :
أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ»
“Ada seorang lelaki menemui Nabi shallallahu álaihi wasallam lalu berkata kepada beliau, “Sesungguhnya saudariku telah bernadzar untuk berhaji, sekarang ia telah meninggal”. Maka Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata, “Seandainya saudarimu punya tanggungan hutang, apakah engkau akan menunaikannya?”. Ia barkata, “Iya”, Nabi berkata, “Maka tunaikanlah kepada Allah, maka Allah lebih utama untuk ditunaikan hutang kepadaNya” (HR Al-Bukhari no 6699)
Pada hadits ini Nabi tidak memperinci dan tidak bertanya apakah lelaki tersebut adalah ahli waris saudarinya?, ini menunjukan perkaranya umum, bahwa haji badal boleh dilakukan oleh ahli waris atau bukan, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian juga Nabi mengqiaskan (menganalogikan) hutang haji dengan hutang harta, jika hutang harta boleh ditunaikan/dilunasi oleh siapapun juga dan tanpa sepengatuhan orang yang berhutang maka demikian pula dengan haji.
([4]) Ini adalah pendapat As-Syafiíyah namun dengan syarat mayat ketika hidup telah mewashiatkan hal itu (lihat Al-Majmuu’ 7/114), juga pendapat madzhab Hambali (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/224) dan pendapat yang dipilih oleh Bin Baaz (lihat Majmuu Fataawaa Ibn Baaz 16/405). Beliau ditanya tentang apakah boleh seseorang menghajikan ibunya yang telah meninggal sementara semasa hidupnya ibunya telah berhaji 7 kali haji. Maka beliau menyatakan akan bolehnya hal tersebut dan merupakan bentuk berbakti kepada ibunya yang mendatangkan pahala yang besar.
([5]) Ini adalah salah satu pendapat madzhab Syafiíyah (lihat al-Majmuu’ 7/114) dan pendapat yang dipilih oleh al-Útsaimin (lihat Majmuu’ Fataawa wa Rosaail al-Útsaimin 21/141), menurut pendapat beliau bahwasanya haji badal untuk haji wajib (haji Islam) itu karena darurat saja, sehingga tidak bisa diqiaskan dengan haji sunnah.
([6]) Ini adalah pendapat jumhur úlama
([7]) Telah lalu bahwasanya Ibnu Ábbas meriwayatkan tatkala haji wadaa’, ada seorang wanita dari Khosyám bertanya kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang Allah wajibkan terhadap para hambaNya telah mengenai ayahku yang sudah dalam kondisi tua, ia tidak kokoh untuk naik di atas tunggangan. Maka apakah aku menghajikannya?”. Maka Nabi shallallahu álaihi wasallam menjawab, نَعَمْ “Ya” (HR Al-Bukhari no 1513 dan Muslim no 1334).
Hadits ini sangat jelas bahwa seorang wanita menghajikan seorang lelaki. Ibnu Qudamah berkata :
يَجُوزُ أَنْ يَنُوبَ الرَّجُلُ عَنْ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةُ عَنْ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ، فِي الْحَجِّ، فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ. لَا نَعْلَمُ فِيهِ مُخَالِفًا، إلَّا الْحَسَنَ بْنَ صَالِحٍ، فَإِنَّهُ كَرِهَ حَجَّ الْمَرْأَةِ عَنْ الرَّجُلِ
“Boleh bagi seorang lelaki menghajikan seorang wanita dan seorang wanita menghajikan seorang lelaki menurut pendapat seluruh ulama, dan kami tidak mengetahui adanya seorangpun yang menyelishi tentang hal ini kecuali al-Hasan bin Salih, beliau benci sorang wanita menghajikan seorang lelaki”(Al-Mughni 3/226)