2. إِنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
innā khalaqnal-insāna min nuṭfatin amsyājin nabtalīhi fa ja’alnāhu samī’an baṣīrā
2. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Tafsir :
Ayat ini menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud الْإِنْسَانَ pada ayat sebelumnya adalah manusia secara keseluruhan dan bukan Nabi Adam ‘alaihissalam. Karena pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan penciptaan manusia dari nuthfah, sedangkan kita tahu bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan dari tanah. Oleh karenanya pendapat yang benar adalah bahwa الْإِنْسَانَ pada ayat ini dan sebelumnya adalah manusia secara umum, sehingga topik pembicaraan dalam surah ini adalah kepada kita semuanya.
Kata أَمْشَاجٍ secara bahasa artinya tercampur. Apa yang dimaksud tercampur di sini? Kalau kita kembali kepada perkataan para salaf tentang makna kata ini, maka ada khilaf di kalangan mereka.
Pendapat pertama mengatakan أَمْشَاجٍ adalah,
اِخْتِلاَطُ مَاءِ الرَّجُلِ وَمَاءِ الْمَرْأَةِ
“Percampuran antara air mani laki-laki dan air mani perempuan.”
Artinya, أَمْشَاجٍ adalah pertemuan antara air mani laki-laki dan sel ovum wanita yang kemudian menjadi nuthfah, dan inilah pendapat ini yang lebih kuat. Dahulu orang-orang Arab yang tidak memiliki pengetahuan tentang ini menyangka bahwa manusia itu berasal dari air mani laki-laki saja dan perempuan hanya berfungsi sebagai bejana yang menampung sperma tersebut untuk tumbuh. Mereka tidak tahu bahwasanya proses terjadinya manusia itu adalah percampuran antara sel sperma laki-laki dan sel ovum wanita. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya nuthfah tidak hanya dihasilkan dari sel sperma laki-laki. Dan di sini Allah Subhanahu wa ta’ala bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang Arab dahulu bahwasanya manusia terjadi dengan proses pertemuan sel sperma dan sel ovum, serta bukan sebagaimana persangkaan mereka. Berdasarkan tafsir ini maka menunjukan bahwa al-Qurán telah menjelaskan ilmu biologi yang tidak dipahami oleh orang-orang arab tatkala itu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa أَمْشَاجٍ (bercampur) adalah tahapan-tahapan yang terjadi terhadap nuthfah, yaitu di mana yang awalnya sperma, kemudian menjadi ‘alaqah, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging), kemudian menjadi tulang belulang yang kemudian dibungkus dengan daging, dan jadilah manusia. Akan tetapi tafsiran ini dibantah Ibnu Jarir Ath-Thabari bahwa tafsiran ini kurang kuat karena dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala hanya berbicara tentang nuthfah semata. Adapun proses perkembangan janin setelah nuthfah (seperti ‘alaqah, mudghah dan seterusnya) tentunya tidak lagi dinamakan nuthfah, dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berbicara hal tersebut pada ayat ini.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa أَمْشَاجٍ maksudnya adalah pada nuthfah terdapat berbagai macam campuran atau untuk menjadikan sebuah nuthfah terdapat campuran-campuran. Adapun campuran-campuran apa saja, maka hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu.
Pendapat keempat mengatakan bahwa أَمْشَاجٍ maksudnya adalah nuthfah terdiri dari bermacam-macam sebagaimana Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan dari berbagai macam tanah, sehingga akhirnya menjadikan manusia memiliki tabiat yang berbeda-beda.
Akan tetapi sebagaimana telah disebutkan bahwa pendapat yang paling kuat mengenai makna kata أَمْشَاجٍ adalah percampuran antara sel sperma dan sel ovum wanita([1]).
Kemudian pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang nikmat penciptaan manusia ini dengan tujuan untuk menguji manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan kita manusia hanya sekadar untuk senda gurau dan tanpa tujuan, melainkan semua Allah Subhanahu wa ta’ala ciptakan karena ada hikmah dibalik itu. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia tidak sebagaimana kita manusia yang tatkala melakukan sesuatu terkadang tidak memiliki tujuan dan hanya menghabis-habiskan waktu. Dan banyak di dalam Alquran ayat-ayat yang lain yang menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan untuk diuji. Di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“(Dia Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2)
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi : 7)
Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam ayat ini bahwa tujuan penciptaan manusia itu adalah نَبْتَلِيهِ (untuk diuji).
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa penciptaan manusia adalah untuk diuji, maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”
Kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhusukan penyebutan mendengar dan melihat? Tidak lain karena dari dua sifat inilah seseorang sering diuji. Sebagaimana kita ketahui bahwa ucapan biasanya merupakan hasil dari apa yang seseorang kumpulkan dari mendengar dan melihat, oleh karenanya sumber ujian yang dihadapi oleh seseorang adalah pendengaran dan penglihatan. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’ : 36)
Karenanya hendaknya seseorang berhati-hati dalam mendengar dan melihat, karena sesungguhnya pendengaran dan penglihatan merupakan ujian yang diberikan dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa ta’ala atas apa yang dia dengar dan apa yang dia lihat.
Tentunya ini menunjukkan akan beratnya kehidupan kita sekarang ini. Saat ini sudah terlalu banyak yang kita lihat dan dengar, sehingga akhirnya hal tersebut berkumpul di dada kita yang kemudian tidak jarang kita keluarkan dalam bentuk komentar, akhirnya semakin banyak hal yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya ketika kita telah sadar bahwa pendengaran dan penglihatan kita akan dan sedang diuji serta akan dimintai pertanggungjawaban, maka hendaknya kita berhati-hati dalam mendengar dan melihat.
Dahulu para salaf melarang yang namanya fudhul nadzhar (Kepo ingin tahu dengan melihat), yaitu kurang kerjaan melihat sana-sini. Setiap kali berjalan dia akan menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat-lihat, dan setelah dia tahu maka pasti dia akan mengomentari apa yang dia lihat. Sedangkan kita sekarang berada di zaman yang rasa ingin tahunya sangat tinggi. Padahal ketika kita mengumbar pandangan, maka sejatinya saat itulah kita diuji oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula sama halnya dengan mendengar, maka sering kita kepo dengan mendengar hal-hal yang bukan urusan kita dan tidak perlu untuk kita dengar. Padahal pendengaran kita diuji oleh Allah dan akan dimintai pertanggung jawaban.
__________________________________
Footnote :
([1]) Lihat Al-Bahrul Muhith fi Tafsir karya Abu Hayyan Al-Andalusy 10/358.