Dana Tabungan Haji Wajib Dizakati?
Sebelum mengetahui hukumnya, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan dana tabungan haji tersebut dan bagaimana prosesnya.
Disebutkan dalam website resmi kemenag tentang prosedur dan persyaratan pendaftaran haji reguler, berikut tahapannya secara singkat: ([1])
- Calon jamaah haji membuka tabungan haji pada BPS BPIH sesuai domisili dengan syarat membawa KTP dan setoran awal sebesar 25 juta rupiah.
- Calon jamaah haji melakukan transfer ke rekening Menteri Agama sebesar setoran awal BPIH pada cabang BPS BPIH sesuai domisili.
- Calon jamaah haji membawa dokumen-dokumen dan persyaratan lainnya.
- Calon jamaah haji menerima bukti pendaftaran haji yang berisi Nomor Porsi pendaftaran.
Berdasarkan tahapan prosedur di atas, pada hakikatnya itu adalah transaksi jual beli jasa pelayanan perjalanan haji. Dengan asumsi calon jamaah haji sebagai pembeli, sementara pemerintah sebagai pihak penjual. Perpindahan kepemilikan uang 25 juta dari calon jamaah haji ke rekening Menteri Agama inilah hakikat jual beli.
Bukti bahwa uang tersebut bukan titipan (wadiah) tetapi sudah pindah kepemilikan adalah prosedur pembatalannya, sebagaimana berikut (jika calon jamaah haji masih hidup): ([2])
CJH datang ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota tempat domisili dengan melampirkan syarat-syarat sebagai berikut :
- Surat Permohonan Pembatalan dari CJH bersangkutan ditujukan ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota dengan menyebutkan alasan pembatalan, dibubuhi tanda tangan dan bermaterai Rp. 6000.
- Bukti Setoran BPIH tabungan awal/ lunas yang dikeluarkan bank tempat melakukan setoran.
- Surat Pernyataan Pergi Haji (SPPH).
- Buku Tabungan Haji.
- Fotocopy KTP JCH yang mengajukan pembatalan.
Prosedur di atas menunjukkan bahwa pembatalan tersebut bukanlah sebagai penarikan kembali uang titipan (wadi’ah), akan tetapi ia berupa pembatalan akad saat mendaftar haji, karena nominal tersebut tidak bisa diambil di tengah jalan kecuali jika dia menyatakan telah mengundurkan diri sebagai calon jamaah haji. Di sini dapat diperhatikan bahwa ini adalah akad lazim (mengikat) dari dua pihak, artinya jika satu pihak ingin membatalkan akad maka harus dengan persetujuan pihak kedua, sementara akad titipan (wadi’ah) adalah akad jaiz min tharafain (dapat dibatalkan secara sepihak), dan bukan akad lazim. ([3])
Bukti kedua, seandainya dana tabungan tersebut bersifat titipan (wadi’ah), maka pihak yang menampung titipan yang hal ini adalah kemenag atau pemerintah tidak bisa memanfaatkan atau memutar uang tersebut untuk keperluan lain, karena titipan adalah amanah yang harus dijaga dan dikembalikan seperti keadaan semula.
Maka terjelaskan bahwa dana tabungan haji sudah berpindah kepemilikan, sehingga tidak wajib dizakati oleh CJH, karena salah satu syarat wajib zakat adalah kepemilikan sempurna (al-milku at-tam), sekalipun nilai tabungan yang disetorkan sudah mencapai nisab dan mengendap bertahun-tahun. Wallahu a’lam.
Footnote:
______
([1]) Lihat: https://kemenag.go.id/berita/info_grafis_read/8/tata-cara-dan-persyaratan-pendaftaran-haji-reguler
([2]) Lihat: https://ntt.kemenag.go.id/artikel/27266/tata-cara-pembatalan-bpih