Indahnya Islam
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas suatu topik yang penulis rasa merupakan pembahasan yang sangat penting bagi kita semua, karena pembahasan ini bisa semakin memantapkan keyakinan kita terhadap akidah yang kita yakini selama ini, yaitu agama Islam. Dari pembahasan ini juga kita berharap agar tidak membuat kita goyah dari akidah Islam, dan semakin membuat kita bersyukur kepada Allah ﷻ atas nikmat Islam.
Kita sangat paham bahwa di zaman sekarang ini, terdapat berbagai macam syubhat dan kerancuan pemikiran yang disebarkan melalui internet dan media sosial, sehingga terkadang bagi orang yang keislamannya masih awam sangat mudah untuk terpengaruh dengan syubhat-syubhat tersebut. Akhirnya, ada sebagian dari mereka yang berpindah agama, dan ada sebagian dari mereka yang kemudian tidak lagi percaya akan adanya Tuhan. Hal itu semua tidak lain dan tidak bukan karena kekosongan hati mereka dan kejahilan mereka terhadap agama Islam, sehingga ketika syubhat yang masuk ke dalam hati-hati mereka membuat mereka tekapar. Maka dari itu, setiap kita perlu untuk belajar tentang indahnya agama Islam agar keyakinan kita semakin kokoh dan semakin senantiasa bersyukur kepada Allah ﷻ .
Nabi ﷺ telah menjelaskan bahwasanya tidak ada agama yang diterima di sisi Allah ﷻ kecuali agama Islam. Dalam Shahih Muslim Nabi ﷺ bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.”([1])
Tidaklah Nabi ﷺ mengatakan demikian kecuali karena Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai oleh-Nya. Allah ﷻ menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali-‘Imran : 19)
Allah ﷻ juga berfirman dalam ayat yang lain,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi.” (QS. Ali-‘Imran : 85)
Allah ﷻ juga berfirman kepada Nabi ﷺ,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’ : 107)
Oleh karena itu, pada tahun sekitar 9H Nabi ﷺ menulis surat-surat kepada para raja-raja agar mereka masuk Islam. Di antara yang Nabi ﷺ kirimkan surat adalah Heraklius yang tatkala itu menjabat sebagai penguasa Romawi. Sebagaimana dalam sebuah surat Nabi ﷺ kepadanya yang berisi,
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، السَّلاَمُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ
“BISMILLAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraklius penguasa Romawi, semoga keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk, amma ba’du.”([2])
Dalam surat itulah Nabi ﷺ menawarkan Islam kepadanya dengan membawakan firman Allah ﷻ,
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim’.” (QS. Ali-‘Imran : 64)
Bukan hanya itu, dalam surat tersebut bahkan Nabi ﷺ mengancam Heraklius dengan mengatakan,
أَسْلِمْ تَسْلَمْ، وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ
“Masuklah Islam niscaya Allah akan memberimu pahala dua kali. Namun bila kamu enggan maka kamu akan menanggung dosa bangsa Arisiyyiin (menanggung dosa rakyatnya sendiri).”([3])
Inilah di antara kaum yang Nabi ﷺ tawarkan Islam kepada mereka. Dan tentunya Nabi ﷺ juga mengirimkan surat yang sama kepada raja Persia dan yang lainnya. Intinya, itu semua menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ ingin agar seluruh manusia di alam semesta ini ingin merasakan indahnya Islam yang merupakan agama yang diridhai oleh Allah ﷻ .
Indahnya Cahaya Islam
Pada pembahasan ini, kita akan membahas poin-poin tentang indahnya Islam. Namun dalam poin-poin tersebut, sebagian kita akan membandingkannya dengan agama yang lain, sebagaimana perkataan pepatah yang mengatakan,
الضِّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ … وبِضِدِّها تتبيّنُ الأشياءُ
“sesuatu akan ditampakkan keindahannya oleh lawannya…dengan membandingkan (lawannya) akan menampakkan sesuatu.” ([4])
Artinya, dengan membandingkan dengan agama yang lain, maka kita akan bisa lebih mendapatkan cahaya yang lebih jelas, sehingga kita bisa melihat betapa indahnya Islam. Hal seperti ini sebagaimana ketika kita bisa memahami tentang makna tauhid ketika kita telah membahas pula tentang buruknya kesyirikan. Oleh karena itu, pada poin-poin tersebut akan kita sebutkan beberapa perbandingan dari agama, keyakinan, atau pemikiran lain, agar kita semakin tahu akan keindahan Islam jika dibandingkan dengan agama-agama yang lain.
Poin-poin yang menyebutkan keindahan Islam pada dasarnya sangatlah banyak. poin-poin yang kita sebutkan ini hanyalah sebagian dari keseluruhan poin-poin yang ada karena keterbatasan ilmu penulis. Beberapa poin-poin tersebut adalah sebagai berikut,
- Islam adalah agama yang satu-satunya yang mengajarkan untuk mentauhidkan Allah ﷻ
Di antara yang menunjukkan agungnya Islam, yang paling utama adalah karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan tentang mengesakan Allah ﷻ . Sesungguhnya, hanya agama Islam yang dapat menerapkan konsep tentang ketuhanan yang Maha Esa dan sila pertama Pancasila.
Agama Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan kepada penganutnya pada pentauhidan (penyembahan) terhadap Tuhan pemilik alam semesta. Para salaf pernah mengatakan,
أَتَيْنَا لِتُخْرِجَ العِبَادَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَاد إِلَى عِبَادَةِ رَبِّ الْعِبَاد
“kami datang untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap hamba (makhluk) kepada penyembahan kepada Rabb para hamba.” ([5])
Oleh karena itu, sangat wajar jika Islam adalah agama yang paling memberikan penekanan yang besar terhadap kesyirikan dan keharaman akan semua hal-hal yang bisa mengantarkan kepada penodaan terhadap keesaan Allah ﷻ . Bahkan sampai-sampai dalam Islam tidak boleh seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung kesyirikan. Di antara kata-kata tersebut adalah, “Kalau bukan karena dokter itu, saya mungkin sudah meninggal” atau yang semacamnya. Kalimat semacam ini mengandung kalimat kesyirikan. Adapun kalimat yang benar adalah seseorang seharusnya mengatakan, “Kalau bukan karena Allah dan dengan sebab dokter tersebut, maka saya mungkin tidak selamat”. Kalau masalah lafal (kalimat) saja Islam sangat ketat dalam mengaturnya, maka tidak heran jika kita mengatakan bahwa tidak ada agama yang benar-benar bisa mewujudkan pengesaan terhadap Tuhan semesta alam kecuali agama Islam. Akan tetapi, tentunya seseorang tidak akan memahami hal ini dengan detail kecuali dia mempelajari tentang tauhid dengan benar.
Kalau kita membandingkan dengan agama yang lain, maka akan kita dapati semua agama selain Islam pasti mengajarkan kepada peribadahan terhadap makhluk, baik makhluk itu berupa manusia, ataukah Nabi, ataukah Malaikat, ataukah Jin, ataukah pohon dan batu, atau bahkan hewan, dan yang lainnya. Contohnya adalah Yahudi dan Nasrani. Kedua agama ini merupakan agama samawi yang dahulunya beragama tauhid, namun kemudian terjadi penyimpangan yang membuat kesyirikan masuk ke dalam agama mereka. Yahudi dan Nasrani disebut sebagai orang-orang musyrik karena mereka melakukan pengagungan yang berlebihan kepada orang saleh sampai-sampai menganggap orang saleh tersebut sebagai anak Tuhan. Allah ﷻ berfirman,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair putra Allah’, dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih putra Allah’. Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah : 30)
Orang-orang Yahudi mengagungkan ‘Uzair sampai mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. Sejarah menyebutkan bahwa ‘Uzair adalah seorang yang saleh atau seorang Nabi yang datang pada masa dimana Taurat telah hilang. Kemudian Allah ﷻ memberikan ilham kepada ‘Uzair sehingga dia bisa mendiktekan Taurat kepada orang-orang ketika orang-orang telah lupa akan Taurat. Disebabkan orang-orang melihat kehebatan ‘Uzair yang bisa mendiktekan Taurat, akhirnya orang-orang pun berlebih-lebihan kepadanya sampai mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah.
Orang-orang Nasrani juga mengatakan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam adalah anak Tuhan. Kita tahu bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam adalah seorang hamba Allah yang saleh, dan tidak ada di antara kita umat Islam yang ragu akan kesalehannya. Dan kita semua umat Islam begitu kagum dan bangga memiliki seorang Nabi Isa ‘alaihissalam. Lihatlah bagaimana Al-Quran begitu mengagungkan Nabi Isa ‘alaihissalam dengan pengagungan yang sangat luar biasa, bahkan para ulama mengatakan bahwa tidak akan dijumpai dalam kitab-kita mereka (orang-orang Nasrani) yang menyebutkan bahwa di antara mukjizat Nabi Isa ‘alaihissalam adalah bisa berbicara sejak kecil (bayi). Akan tetapi ternyata orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam mengagungkannya sampai-sampai mengatakan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam adalah anak Tuhan, padahal akhirnya mereka sendiri berselisih paham tentang apa hakikat Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai Tuhan, berselisih tentang apa maksud trinitas, dan banyak perselisihan lainnya. Intinya, mereka orang-orang Nasrani mengangkat derajat Nabi Isa ‘alaihissalam sampai pada derajat Tuhan. Oleh karena itu, Allah ﷻ berfirman bahwa di akhirat kelak Allah akan bertanya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam tentang perbuatan mereka,
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?’ (Isa) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu’.” (QS. Al-Maidah : 116-117)
Artinya, Nabi Isa ‘alaihissalam akan berlepas diri dari mereka-mereka yang menganggapnya sebagai anak Tuhan pada hari kiamat kelak.
Allah ﷻ telah menegaskan bahwasanya ungkapan-ungkapan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa ‘Uzair dan Nabi Isa ‘alaihissalam adalah anak Allah bukanlah perkara yang baru, melainkan perkataan tersebut merupakan perkataan orang-orang kafir sebelum mereka. Kita semua paham bahwa mereka yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki anak bukanlah anak biologis, akan tetapi sekadar dianggap sebagai anak Tuhan dan kemudian disembah. Intinya, perkara seperti ini telah ada sejak zaman dahulu. Contohnya adalah orang-orang musyrikin Arab, mereka meyakini bahwasanya malaikat adalah putri-putri Allah ﷻ . Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang musyrikin,
وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ
“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban.” (QS. Az-Zukhruf : 19)
Ini menunjukkan bahwa meyakini bahwa Tuhan punya anak bukanlah perkara yang baru, karena orang-orang musyrikin Arab dahulu telah meyakini bahwa Allah punya putri (anak) yaitu para malaikat.
Contoh lain adalah filosofi orang-orang Yunani, mereka juga meyakini bahwa dewa memiliki anak sebagaimana yang banyak disebutkan bahwa dewa Zeus memiliki putra bernama Herkules, atau keyakinan bahwa dewa menitis pada seorang manusia di bumi ini.
Demikian pula dalam agama Hindu, terdapat keyakinan bahwa Krisna adalah titisan atau putra dari dewa yang mereka sembah. Mereka juga meyakini adanya dewa Brahmana yang merupakan dewa pencipta, dewa Syiwa yang merupakan dewa perusak, dan dewa Wisnu yang merupakan dewa pemelihara. Artinya, mereka juga meyakini sistem keyakinan trinitas. Bahkan salah seorang ‘alim yang pernah menjadi dosen di Universitas Islam Madinah menulis disertasi atau risalah ilmiah tentang perbandingan antara Nasrani dan Hindu, dan dia mendapatkan banyak persamaan terutama dalam masalah trinitas, dan yang lainnya.
Demikian pula dengan agama Buddha, tentu kita akan mempertanyakan bahwa sejak kapan Siddhartha Gautama menjadi sebagai Tuhan? Bukankah dahulu dia adalah sesuatu yang tidak ada lalu kemudian dilahirkan? Bahkan pada masa dia hidup juga tidak pernah menciptakan sesuatu yang seperti apa yang ada di bumi. Lantas bagaimana kemudian dia dijadikan sebagai Tuhan? Oleh karena itu, terdapat sebuah risalah yang pernah ditulis di Universitas Islam Madinah oleh seorang ikhwan dari Thailand, dia menjelaskan dalam risalah tersebut bahwa tidak ada yang menyembah Buddha (Siddhartha Gautama) di zamannya, karena dia sendiri tidak pernah memproklamasikan dirinya sebagai Tuhan. Akan tetapi kemudian orang-orang setelahnya datang dan menjadikan Siddhartha Gautama sebagai Tuhan.
Kemudian ketika kita berbicara tentang keyakinan seperti Kong Hu Cu, Lao Zi (Lao Tse), Shinto, kita tidak paham apa yang sebenarnya mereka sembah. Akan tetapi yang pasti adalah mereka menyembah makhluk.
Di sebagian negara yang lain ada yang menyembah sapi (hewan). Bagaimana bisa seseorang yang berakal kemudian menunggu sapi tersebut kencing, lalu mengambil berkah dari air kencing sapi tersebut, lalu kemudian sujud kepada sapi tersebut? Akan tetapi demikianlah syaithan yang selalu berusaha untuk menggoda manusia untuk berbuat syirik, sampai-sampai bisa menggoda seseorang untuk menyembah sesuatu yang lebih hina daripada dirinya.
Selain itu, ada pula orang-orang yang menyembah batu. Kebanyakan mereka terlebih dahulu memahat batu-batu untuk menciptakan tuhan-tuhan mereka, lalu kemudian disembah. Secara logika kita, kita pasti akan bertanya-tanya bahwa bagaimana mungkin seseorang yang berakal bisa melakukan demikian? Akan tetapi demikianlah adanya. Bahkan di zaman sekarang pun kita dapati ada orang yang menyembah penghuni kubur, padahal yang dia sembah adalah yang sesuatu telah mati.
Maka dengan demikian, jika dibandingkan dengan agama Islam, maka dimanakah tauhid agama-agama yang lain? Ketahuilah bahwa Allah ﷻ Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Dia tidak butuh kepada siapa pun, melainkan siapa pun butuh kepada-Nya. Oleh karena itu, sebagaimana telah kita sebutkan bahwa di antara indahnya Islam adalah Islam merupakan satu-satunya agama yang mengajarkan pengesaan terhadap Allah ﷻ . Maka dari itu, celakalah orang-orang liberal yang mengatakan bahwa semua agama sama. Mereka celaka karena telah menyamakan agama Islam dengan agama yang lainnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menyamakan antara agama yang mengajarkan untuk menauhidkan Allah ﷻ dengan agama yang mengajarkan untuk menyembah sapi? Bagaimana mungkin seseorang bisa menyamakan antara agama yang mengajarkan penyembahan kepada Tuhan pencipta seluruh alam dengan agama yang mengajarkan kepada penyembahan terhadap Jin, malaikat, Nabi, hewan, dan makhluk lainnya? Oleh karena itu, ucapan orang-orang liberal tersebut yang meyakini bahwa semua agama sama dan sama-sama mengantarkan kepada surga merupakan perkataan kekufuran. Meskipun MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengatakan bahwa perkataan itu adalah haram, akan tetapi penulis mengatakan bahwa itu bukan sekadar perkataan keharaman, melainkan lebih daripada itu bahwa perkataan tersebut adalah perkataan kekufuran dan bisa mengeluarkan pelakunya keluar dari Islam. Mengapa penulis mengatakan bahwa itu adalah perkataan kekufuran? Karena jika kita mengatakan bahwa semua agama sama-sama akan mengantarkan kepada surga maka semua ayat-ayat yang menjelaskan bahwa selain Islam kafir tidak akan berlaku (berguna). Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Maidah : 73)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam’. Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, ‘Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. Al-Maidah : 72)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.” (QS. Al-Bayyinah : 6)
Kalau benar dikatakan bahwa semua agama itu sama, lantas mau dikemanakan ayat-ayat yang berbunyi seperti di atas ini? Apakah ayat-ayat ini akan dibuang? Kemudian jika semua agama itu benar, untuk apa Nabi ﷺ bersusah payah untuk berdakwah, sampai-sampai beliau mengirim surat kepada para raja-raja dan menawarkan Islam?
Oleh karena itu, di antara poin yang terindah dari indahnya Islam adalah Islam merupakan satu-satunya agama yang bisa mewujudkan sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun agama-agama yang lain masih dipertanyakan tentang keesaan tuhan-tuhan mereka.
- Islam adalah satu-satunya agama yang menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan secara detail
Sesuatu hal yang sangat logis apabila seseorang ingin tahu tentang siapa yang dia beribadah kepadanya. Dan bukankah di antara cara kita untuk bisa khusyuk, tunduk dan patuh terhadap ibadah dan perintah terhadap yang kita sembah adalah dengan mengenal siapa yang kita sembah? Maka dari itu, Islam datang dengan penjelasan yang banyak tentang sifat-sifat Allah ﷻ . Nabi ﷺ juga banyak menjelaskan dalam hadits-hadistnya dengan pendekatan-pendekatan yang baik tentang sifat-sifat Allah ﷻ . Di antaranya seperti sabda Nabi ﷺ,
لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“Sungguh, kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang perempuan itu (Ibu) terhadap anaknya.” (Muttafaqun ‘alaih)([6])
Di antaranya pula sabda Nabi ﷺ,
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Sungguh kegembiraan Allah disebabkan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian terhadap hewan tunggangannya di sebuah padang pasir yang luas, namun tiba-tiba hewan tersebut lepas, padahal di atasnya ada makanan dan minuman, hingga akhirnya dia merasa putus asa untuk menemukannya kembali. Kemudian ia beristirahat di bawah pohon, namun di saat itu, tiba-tiba dia mendapatkan untanya sudah berdiri di sampingnya. Ia pun segera mengambil tali kekangnya kemudian berkata, ‘Ya Allah Engkau hambaku dan aku ini Tuhan-Mu’. Dia telah salah berkata karena terlalu senang.”([7])
Selain itu, banyak sekali nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia sebutkan di dalam Alquran. Di antaranya adalah Al-‘Aziz, Al-Ghafur, Al-Wadud, dan yang lainnya. Ketika kita belajar tentang mengapa Allah mendampingkan antara Al-Ghafur dan Al-Wadud seperti dalam firman-Nya,
وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
“Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (QS. Al-Buruj : 14)
Atau tentang mengapa Allah menggandengkan antara Al-Hakim dan Al-‘Aziz sebagaimana dalam firman-Nya,
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Ali-‘Imran : 6)
Atau mengapa dalam suatu ayat Allah tutup dengan sifat-Nya Al-Halim, dan pada ayat yang lain dengan sifat yang lain, maka dengan mempelajari itu semua kita akan semakin cinta kepada Allah ﷻ .
Sementara ketika kita membandingkan agama Islam dengan agama yang lain, maka akan kita dapati pembahasan tentang Tuhan pada agama lain akan rumit dan terkadang tidak detail. Terkadang, sebagian mereka akan semakin bingung ketika mereka semakin mempelajari tentang agama dan Tuhan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani yang meyakini konsep ketuhanan itu satu sama dengan yang tiga, dan tiga sama dengan yang satu. Ketahuilah bahwa penulis telah berdiskusi dengan berbagai orang Nasrani tentang konsep trinitas, dan ternyata masing-masing mereka memiliki jawaban yang berbeda-beda tentang hal tersebut, sehingga tidak ada kesepakatan yang penulis dapatkan dari pendapat-pendapat mereka. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata,
وَلِهَذَا يُقَالُ: لَوْ اجْتَمَعَ عَشَرَةٌ مِنْ النَّصَارَى لَافْتَرَقُوا عَلَى أَحَدَ عَشَرَ قَوْلًا
“Dan di katakan, ‘Jika ada sepuluh orang Nasrani berkumpul, maka akan ada sebelas pendapat’.”([8])
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah juga berkata bahwa sungguh menakjubkan suatu kaum yang mereka meyakini suatu perkara, namun mereka tahu bahwa mereka tidak paham tentang perkara tersebut.
Bahkan pendapat terakhir yang penulis baca, mereka orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Allah itu ada dibuktikan dengan firman-Nya, akan tetapi kemudian firman tersebut menjelma menjadi Nabi Isa ‘alaihissalam. Tentu kita akan bingung, bagaimana ceritanya firman (perkataan) bisa menjadi manusia? Demikian pula seorang teman Nasrani pernah mengatakan bahwa konsep trinitas itu seperti merokok yang komponennya harus ada bibir, rokok, dan asap. Tentu logika seperti ini sangat mudah untuk membantahnya. Kita bisa mengatakan bahwa bibir tidak sama dengan rokok, dan rokok tidak sama dengan asap, sementara mereka meyakini bahwa Tuhan sama dengan Isa, dan Isa sama dengan roh Kudus. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa bibir bisa tetap ada tanpa rokok, dan sebaliknya rokok tetap ada tanpa bibir, sedangkan mereka meyakini bahwa yang satu tidak bisa tanpa yang lainnya.
Intinya, mereka sendiri bingung dengan apa yang mereka yakini, dan mereka sendiri tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah. Dan karena mereka tidak paham akan hal itu, mereka sendiri melarang untuk seseorang memperdalam pengetahuannya tentang Tuhan, karena semakin mereka memperdalam pengetahuan mereka tentang Tuhan mereka maka mereka akan semakin ragu. Akhirnya mereka menutup mata dan taklid buta dengan nenek moyang mereka. Demikian pula dengan agama-agama yang lain seperti Hindu atau Buddha, memperdalam tentang ketuhanan dalam agama mereka akan membuat mereka semakin bingung, atau paling tidak mereka tidak akan bisa memberikan penjelasan dengan detail tentang siapa Tuhan yang mereka sembah.
Berbeda dengan Islam, seseorang yang belajar tauhid Ar-Rububiyah, tauhid Al-Uluhiyah, dan tauhid Asma’ wa Sifat, akan membuat seseorang paham tentang siapa yang dia sembah, dan inilah di antara keindahan Islam.
- Islam adalah satu-satunya agama yang komprehensif (lengkap)
Di antara indahnya Islam adalah Islam merupakan satu-satunya agama yang lengkap dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Seluruh permasalahan di bahas di dalam agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan buku-buku hadits yang berjilid-jilid, dan penjelasan para ulama yang sangat gamblang. Dan sebab indahnya Islam dari sisi kesempurnaannya ini pun disadari oleh orang-orang musyrikin. Disebutkan bahwa datang sebagian orang-orang musyrikin kepada Salman Al-Farisi dan berkata,
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ، فَقَالَ: أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Apakah Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja?” Salman menjawab, ‘Ya. Sungguh beliau melarang kami buang air besar, buang air kecil dengan menghadap kiblat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan batu kurang dari tiga buah, atau bersuci dengan kotoran hewan atau tulang’.”([9])
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jika hal kecil seperti adab buang hajat saja telah diajarkan dalam Islam, maka tentu hal yang lebih besar daripada itu telah pasti diajarkan. Oleh karena itu, Islam telah pasti telah mengajarkan tentang akidah, masalah dalam rumah tangga, adab bertetangga, adab dalam berperang, dan yang lainnya. Tidak ada pembahasan apa pun kecuali pembahasan tersebut ada di dalam pembahasan Islam. Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata,
إِنِ اسْتَطَعْتَ ألا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَا بِأَثَرٍ فَافْعَل
“Jika engkau mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan atsar (dalil), maka lakukanlah.” ([10])
Ini menunjukkan bahwa semua perkara ada dalilnya dalam agama Islam.
Oleh karena itu, Allah ﷻ menakdirkan Nabi ﷺ menjalani beberapa fase kehidupan, yang dalam fase kehidupan tersebut ada berbagai macam contoh dan kaidah yang bisa kita ikuti dalam menghadapi segala macam problematik kehidupan. Nabi ﷺ lahir dalam kondisi yatim, beliau juga pernah tinggal bersama ibu susuannya, beliau juga pernah tinggal bersama kakek dan pamannya, sehingga ada contoh bagi orang-orang yang mengalami hal tersebut. Rasulullah ﷺ juga pernah menggembalakan kambing di masa mudanya dan beliau juga berdagang, sehingga ada contoh bagi orang-orang yang mengalami hal tersebut. Selain itu, Rasulullah ﷺ juga menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha dan yang lainnya, kemudian memiliki anak-anak, sehingga ada contoh bagi seseorang untuk menjadi seorang suami dan ayah yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya. Rasulullah ﷺ juga senantiasa bergaul dengan para sahabatnya, sehingga jadilah beliau sebagai contoh yang terbaik dalam bergaul dengan orang lain. Rasulullah ﷺ juga seorang ulama, sehingga jadilah beliau contoh yang terbaik bagi para Da’i dan ulama setelahnya. Nabi ﷺ juga menjadi seorang kepala negara, maka jadilah beliau contoh yang terbaik bagi siapa saja yang menjadi kepala negara di suatu daerah. Rasulullah ﷺ juga pernah berperang dan berdamai dengan musuh-musuhnya, maka jadilah beliau sebaik-baik contoh dalam bersikap terhadap musuh-musuhnya. Rasulullah ﷺ pernah tinggal di Madinah bersama orang-orang Yahudi dan yang lainnya, sehingga jadilah beliau sebaik-baik contoh tentang bagaimana sikap seseorang muslim terhadap orang lain yang berbeda agama dengannya. Rasulullah ﷺ juga melakukan hal-hal yang bersifat manusiawi seperti menggauili istrinya, buang hajat, sakit, dan yang lainnya, sehingga jadilah beliau sebaik-baik contoh dalam adab-adab tersebut.
Semua perkara ada contohnya dalam Islam. Oleh karena itu, Allah ﷻ juga menegaskan hal itu dalam firman-Nya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah : 3)
Ayat ini turun tatkala Nabi ﷺ melakukan haji wada’ dan sedang wukuf di Padang Arafah. Sebab ayat ini pula, seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,
لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ يَهُودَ، نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةَ وَنَعْلَمُ الْيَوْمَ الَّذِي أُنْزِلَتْ فِيهِ، لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا، فَقَالَ عُمَرُ: فَقَدْ عَلِمْتُ الْيَوْمَ الَّذِي أُنْزِلَتْ فِيهِ، وَالسَّاعَةَ، وَأَيْنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ نَزَلَتْ، «نَزَلَتْ لَيْلَةَ جَمْعٍ، وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ
“Andaikan kami kaum Yahudi diturunkan ayat ini, dan kami mengetahui hari diturunkannya ayat itu pasti kami jadikan hari itu sebagai hari raya.” Umar berkata, ‘Aku tahu hari dan saat turunnya ayat itu serta dimana Rasulullah ﷺ saat ayat itu turun, ayat itu turun pada malam perkumpulan, dan saat kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam di Arafah’.”([11])
Oleh karena itu pula, ketika Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu mendapat lembaran-lembaran Taurat, Umar kemudian membacanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mendengar hal itu, Nabi ﷺ marah dan menegur Umar dengan berkata,
أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
“Apakah engkau menjadi bingung karenanya Wahai Ibnu Khattab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu. Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau mereka (menyampaikan) kebatilan lalu kalian membenarkannya? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa hidup (di zamanku), maka tidak ada jalan lain selain dia mengikutiku.”([12])
Ini menunjukkan bahwa Islam telah sempurna, tidak membutuhkan sumber-sumber ajaran yang lain.
Bahkan sering penulis sampaikan bahwa dalam agama mana yang mengajarkan secara detail tentang adab bergaul dengan orang lain? Lihatlah sabda Nabi ﷺ,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً، فَلاَ يَتَنَاجَى رَجُلاَنِ دُونَ الآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ، أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ
“Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa menyertakan yang ketiga sebelum ia berbaur dengan yang lainnya, karena hal dapat menyinggung perasaannya.” (Muttafaqun ‘alaih)([13])
Dalam agama mana yang diajarkan yang seperti ini? tentunya tidak ada agama yang mengajarkan sedetail ini kecuali agama Islam. Maka dari itu, kita tidak perlu untuk mencari petunjuk dalam agama-agama yang lain, atau bahkan filsafat Yunani untuk menjalani kehidupan kita, cukup kita mengambil segalanya dari Islam karena Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan yang lainnya. Akan tetapi tentunya ilmu yang kita maksud bukanlah ilmu dunia, akan tetapi yang kita maksud adalah ilmu tentang tatanan hidup beragama. Oleh karena itu, inilah di antara bentuk indahnya Islam, yaitu Islam adalah agama yang sempurna (lengkap).
- Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap akhlak
Di antara bentuk indahnya Islam adalah Islam merupakan satu-satunya agama yang konsentrasinya terhadap akhlak sangatlah besar. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”([14])
Demikian pula ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Nabi ﷺ, beliau mengatakan,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Quran.”([15])
Demikian juga Allah ﷻ memuji Nabi ﷺ dalam firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak (perangai) yang mulia.” (QS. Al-Qalam : 4)
Oleh karena itu, ketika kita mempelajari Islam secara mendalam, maka kita akan menemukan bagaimana Islam mengajarkan kita untuk berakhlak terhadap semua orang, baik berakhlak mulia kepada istri dan anak, akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap pada pembantu, akhlak terhadap tentangga, dan bahkan akhlak terhadap musuh. Cobalah renungkan, agama mana selain Islam yang secara luar biasa mengajarkan cara berbakti kepada orang tua? Islam memberikan ganjaran pahala yang besar bagi siapa saja yang berbakti kepada orang tuanya, terkhusus kepada ibunya. Tidakkah kita mengingat kisah seorang sahabat yang ingin ikut berjihad namun dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Ketika dia mengutarakan keinginannya untuk berjihad kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bertanya kepada pemuda tersebut,
وَيْحَكَ، أَحَيَّةٌ أُمُّكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَيْحَكَ، الْزَمْ رِجْلَهَا، فَثَمَّ الْجَنَّةُ
“Celakalah kamu. Apakah ibumu masih hidup?” la menjawab, ‘Ya Wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda: ‘Celakalah kamu, lazimilah kedua kakinya (berbaktilah), karena di situ terdapat surga’.”([16])
Demikian pula kisah sahabat yang lain, ketika seseorang ingin pergi berjihad bersama Nabi ﷺ, maka Nabi bertanya kepadanya,
أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab, ‘Iya’. Maka Beliau berkata, ‘Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti)’.”([17])
Kalau berbicara tentang orang tua secara umum saja Islam sudah sangat mengajarkan untuk berbakti kepada mereka, maka bagaimana lagi jika berbicara tentang berbakti kepada ibu? Oleh karena itu penulis mengatakan bahwa sesungguhnya Islam tidak butuh dengan yang namanya hari ibu, karena setiap hari seorang muslim harus menjadikan harinya sebagai hari ibu. Lihatlah dalam agama-agama yang lain, penghormatan mereka terhadap orang tua mereka, terlebih kepada ibu mereka tidak seperti penghormatan Islam terhadap para ibu. Silahkan Anda pergi ke Eropa atau Amerika, atau bertanya dengan orang yang pernah tinggal di sana, dan tanyakan bagaimana nasib orang-orang tua di sana? Kebanyakan mereka di akhir-akhir hayatnya akan ditemani oleh anjing dan hewan peliharaan, sehingga kemana-mana mereka keluar membawa hewan peliharaan. Kemana anak-anak mereka? Dan mengapa mereka lebih memilih hewan peliharaan? Alasannya adalah karena mereka tidak diperhatikan oleh anak-anak mereka. Akhirnya karena mereka merasa tidak bernilai di mata anak-anak mereka, maka akhirnya ada di antara mereka yang bunuh diri. Penulis juga mendapat informasi dari beberapa perawat di Amsterdam bahwa banyak orang tua yang meninggal di rumahnya tanpa diketahui oleh orang lain, kematiannya baru diketahui setelah beberapa hari kemudian. Selain itu, tidak jarang ada dari anak-anak mereka yang memenjarakan orang tuanya karena rasa tidak senang terhadap orang tuanya. Sungguh hal ini sangat miris bagi kita.
Islam sangat mengajarkan bagaimana seorang muslim untuk berbuat baik kepada orang tua. Sering penulis melihat secara langsung, bahwa orang muslim lanjut usia yang keluar rumah, maka seringnya mereka akan keluar bersama anak dan cucu-cucu mereka. Kemudian Islam juga tidak mungkin mengajarkan untuk berbuat buruk terhadap orang tua mereka, karena berkata-kata kasar saja dilarang dalam Islam. Allah ﷻ berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’. ” (QS. Al-Isra’ : 23-24)
Demikianlah Islam, kita diajarkan untuk bagaimana menjadikan orang tua merasa tinggi daripada kita anak-anaknya. Islam mengajarkan agar orang tua merasa dihargai dan bernilai bagi anak-anaknya.
Selain akhlak terhadap orang tua, agama mana yang mengajarkan untuk berakhlak mulia terhadap pembantu? Lihatlah akhlak Nabi ﷺ terhadap pembantunya yang di antaranya adalah Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa neneknya Anas bin Malik pernah mengundang Nabi ﷺ untuk makan di rumahnya, kemudian Nabi ﷺ penuhi undangan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa tidaklah Nabi ﷺ memenuhi undangan tersebut kecuali karena menghormati Anas bin Malik. Padahal kita sendiri paham bahwa Nabi adalah orang yang sibuk sebagai kepada negara, belum lagi beliau memiliki istri-istri yang yang harus diurusi, akan tetapi disela-sela kesibukan tersebut, Nabi ﷺ masih menyempatkan diri untuk memenuhi undangan pembantunya. Selain itu, Nabi ﷺ juga mengajarkan tentang berapa kali seseorang memaafkan pembantu. Nabi ﷺ pernah ditanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمْ أَعْفُو عَنِ الخَادِمِ؟ فَقَالَ: كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Wahai Rasulullah, berapa kalikah aku harus memaafkan pembantu?” Nabi menjawab, ‘Kamu memaafkan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari’.”([18])
Bahkan disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah menjenguk pembantunya yang non muslim yang sedang sakit. Lihatlah, Islam bahkan mencontohkan bagaimana seorang kepala negara menjenguk pembantunya yang sakit, padahal pembantunya tersebut adalah orang Yahudi (non muslim).
Selain akhlak kepada pembantu, ternyata Islam juga mengajarkan cara berakhlak terhadap hewan. Lihatlah sabda Nabi ﷺ kepada seseorang yang hendak menyembelih hewan,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ، فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ، فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan untuk berbuat baik terhadap sesuatu. Oleh karena itu, jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seseorang dari kalian menajamkan mata pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.”([19])
Bahkan dalam riwayat yang lain tidak boleh seseorang menyembelih hewan di hadapan hewan sembelihan yang lain. Pada sebuah riwayat juga disebutkan tentang sahabat yang kasihan terhadap hewan yang dia sembelih, maka kata Nabi ﷺ,
وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللَّهُ
“Sekiranya engkau menyayangi kambing (ketika disembelih), maka Allah akan menyayangimu.”([20])
Dalam hadits yang lain disebutkan,
دَخَلَتِ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا، فَلَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا، وَلَا هِيَ أَرْسَلَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ، حَتَّى مَاتَتْ هَزْلًا
“Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang diikatnya. Dia tidak memberinya makan, dan tidak pula membiarkannya lepas hingga mencari makan dari serangga di bumi hingga akhirnya mati.”([21])
Demikianlah Islam telah mengajarkan kita sampai pada cara berperilaku kepada hewan. Kalau cara berperilaku terhadap hewan saja diatur oleh Islam, maka tentu berakhlak terhadap anak dan istri juga telah diatur, bahkan sampai pada masalah peperangan. Oleh karena itu, agama mana yang mengajari penganutnya akhlak sampai detail seperti ini? Tentu tidak ada, karena dalam ajaran-ajaran selain Islam tidak mengatur hal yang seperti ini.
- Islam adalah satu-satunya agama yang tidak mengenal kasta
Di antara indahnya Islam adalah Islam merupakan satu-satunya agama yang tidak mengenal sistem kasta. Islam adalah agama bagi seluruh alam semesta. Allah ﷻ berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’ : 107)
Artinya adalah siapa pun bisa menjadi mulia di sisi Allah ﷻ selama dia bertakwa, karena barometer kemuliaan seseorang dalam Islam adalah ketakwaan. Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Sesungguhnya ini adalah barometer yang luar biasa. Allah ﷻ tidak menilai berdasarkan kulit hitam atau kulit putih, dia seorang budak atau merdeka. bahkan Allah ﷻ tidak menilai berdasarkan dia seorang Arab atau bukan, padahal saat ayat ini diturunkan, orang-orang Arab sedang berbangga-bangga dengan nasab dan kabilah-kabilah mereka. Akan tetapi Allah ﷻ mengingatkan mereka dan kita semua bahwa yang paling mulia di sisi Allah ﷻ adalah yang paling bertakwa di sisi-Nya. Nabi ﷺ pernah bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Wahai sekalian manusia, Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (Adam). Ingat, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ‘ajam, dan tidak ada keutamaan bagi orang ‘ajam atas orang Arab. Tidak ada keutamaan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak ada keutamaan bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan.”([22])
Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal kasta. Bukankah Islam telah memuliakan Bilal bin Rabbah dengan kabar dari Nabi ﷺ bahwa sendalnya terdengar di surga, padahal dia adalah seorang budak Habasyi yang berkulit hitam? Bukankah Islam telah memuliakan Salman Al-Farisi, padahal dia bukanlah orang Arab melainkan orang Persia. Bahkan seorang penyair pernah berkata,
لَقَدْ رَفَعَ الْإِسْلَامُ سَلْمَانَ فَارِسٍ … وَقَدْ وَضَعَ الْكُفْرُ الشَّرِيفَ أَبَا لَهَبِ
“Sungguh Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi, dan kesyirikan telah merendahkan kemuliaan Abu Lahab.”([23])
Islam adalah agama yang semua orang bisa menjadi mulia. Bahkan ketika kita berbicara tentang biografi para ulama, maka akan banyak kita temui kebanyakan mereka berasal dari bekas-bekas budak, yang di antaranya adalah Hasan Al-Bashri, Thawus Ibnu Kaisan, dan yang lainnya.
Demikianlah Islam yang tidak mengenal kasta dan golongan. Berbeda dengan sebagian agama-agama yang lain, sistem kasta sangat luar biasa tampak. Contohnya adalah Yahudi, mereka meyakini bahwa yang mulia hanyalah orang-orang Yahudi. Bahkan mereka meyakini bahwa jika orang-orang Yahudi meninggal maka akan masuk surga, adapun selain dari itu akan masuk neraka. Hal ini mereka tuliskan dalam pernyataan mereka, dan mereka juga menuliskan bahwa manusia selain Yahudi kedudukannya seperti hewan, akan tetapi hanya saja Tuhan menciptakan dengan wujud manusia agar bisa melayani orang-orang Yahudi. Dan oleh sebab itu, konsekuensinya adalah seluruh harta yang ada pada manusia lainnya itu hakikatnya milik Yahudi, dan mereka boleh mengambilnya dengan cara apa pun yang mereka kehendaki. Oleh karena itu, mereka orang-orang Yahudi tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ hanya karena satu sebab, yaitu karena Nabi ﷺ bukan orang Yahudi, padahal sebelumnya mereka sangat menantikan kedatangan Nabi yang terakhir. Allah ﷻ berfirman tentang mereka,
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).” (QS. Al-Baqarah : 146)
Akan tetapi ketika Allah telah mengutus Nabi ﷺ, mereka mengingkarinya,
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar.” (QS. Al-Baqarah : 89)
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa tatkala Nabi ﷺ tiba di Madinah dan singgah di Quba, Huyay bin Akhthab([24]) bersama saudaranya Abu Yasir bin Akhthab berangkat saat menjelang subuh ingin melihat siapa yang datang memasuki Madinah tersebut. Akan tetapi ternyata mereka pulang di sore hari dalam kondisi lemas, dan terjadilah percakapan antara mereka berdua. Abu Yasir bin Akhthab bertanya kepada Huyay bin Akhthab,
أَهُوَ هُوَ؟ قَالَ: نَعَمْ وَاَللَّهِ، قَالَ: أَتَعْرِفُهُ وَتُثْبِتُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا فِي نَفْسِكَ مِنْهُ؟ قَالَ: عَدَاوَتُهُ وَاَللَّهِ مَا بَقِيتُ
“Apakah memang dia Rasulullah?” Huyay menjawab, ‘Ya betul, demi Allah’. Abu Yasir bertanya lagi, ‘Apakah engkau mengetahuinya dan bisa memastikannya?’ Huyay menjawab, ‘Ya’. Abu Yasir kembali bertanya, ‘Bagaimana perasaanmu (sikapmu) terhadapnya?’ Huyay menjawab, ‘Demi Allah, aku senantiasa memusuhinya selama aku hidup’.”([25])
Artinya, tidak ada alasan lain bagi mereka orang-orang Yahudi menolak Nabi ﷺ kecuali karena Nabi ﷺ bukan dari kalangan orang Yahudi, meskipun mereka sudah menempati Madinah karena tahu bahwa Nabi terakhir akan hijrah ke kota Madinah. Dengan demikian kita mengambil kesimpulan bahwa Yahudi bukanlah agama yang rahmatan lil ‘alamin, melainkan hanya menjadi rahmat bagi Bani Israil.
Selain Yahudi, agama lain yang mengenal sistem kasta adalah agama Hindu. Agama Hindu mengenal sistem kasta, dimana bagi mereka kasta tertinggi adalah Brahmana, lalu kemudian Kesatria, lalu kemudian Waisya, lalu yang terakhir adalah kasta Sudra. Dari keempat kasta ini, maka sungguh malang nasib orang yang lahir dari kasta Sudra, karena mereka harus menjadi pelayan bagi tiga kasta di atas mereka. Agar keempat kasta ini tetap terjaga, penganut agama Hindu meyakini adanya filosofi reinkarnasi, dimana jika orang yang terlahir dengan kasta Sudra ingin naik kasta di kehidupan selanjutnya, maka mereka harus melayani tiga kasta selain mereka, adapun jika tidak maka mereka bisa lahir di kehidupan selanjutnya dengan keadaan yang lebih hina seperti hewan. Subhanallah, sungguh dalam Islam tidak ada yang dikenal sistem yang seperti ini. Oleh karena itu, setelah Hindu muncullah Siddhartha Gautama yang membawa ajaran Buddha yang menentang sistem kasta seperti ini dan mengatakan bahwa semua orang bisa menjadi mulia. Akan tetapi tetap saja, Islam adalah agama yang tidak mengenal kasta apa pun, sehingga siapa saja bisa menjadi mulia tanpa melihat fisik dan sukunya, karena yang menjadi barometer kemuliaan dalam Islam adalah ketakwaan seseorang kepada Allah ﷻ .
Maka dari itu, jika seseorang merasa ada kasta-kasta dalam Islam maka hendaknya dia menjauhi ajaran tersebut. Karena ada sebagian orang Islam yang meyakini bahwa ajarannya hanya diketahui oleh Ahlul Bait, adapun selainnya tidak ada yang tahu. Ketahuilah bahwa yang seperti ini adalah indikasi kasta dalam Islam, karena sesungguhnya Nabi ﷺ menyebarkan Islam kepada seluruh manusia, baik kepada Ahlul Bait atau selainnya, maka tidak benar jika ada orang yang menganggap bahwa ada hadits-hadits tertentu yang hanya diketahui oleh kalangan mereka. Agama Islam ini adalah agama yang mudah, siapa saja bisa menjadi saleh dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran yang tersebar melalui kitab-kitab para ulama. Tidak ada dalam Islam ajaran yang mengkhususkan untuk tarekat tertentu dan orang lain tidak boleh mengetahuinya, sesungguhnya yang seperti ini bukanlah ajaran dari Islam. Akan tetapi kenyataannya, betapa banyak saudara-saudara kita di Indonesia yang meyakini hal seperti ini. Ketika mereka meminta diajarkan doa dan dzikir oleh para ustaz dan kyai, mereka diajarkan doa dan dzikir dengan syarat tidak boleh ada yang mengetahui doa atau dzikir tersebut kecuali dirinya. Sungguh yang seperti ini adalah kesesatan dan indikasi membentuk kasta dalam Islam. Maka jika kita dapati ada sekelompok orang yang mengajarkan ajaran yang tidak boleh diketahui oleh selain kelompok mereka, ketahuilah bahwa itu bukan dari ajaran Islam. Tidak ada yang namanya Islam untuk orang Jawa, Islam untuk orang Sumatra, atau Islam untuk Nusantara, karena Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, di antara keindahan Islam adalah Islam adalah agama yang tidak mengenal sistem kasta, dimana sebagian agama yang lain masih berkutat dengan kasta dan tingkatan-tingkatan derajat manusia versi mereka.
- Islam adalah agama yang mengajarkan untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan ukhrawi
Seorang muslim hanya bisa dekat kepada Allah ﷻ dengan memenuhi kebutuhan jasadnya dan rohaninya. Sederhananya, sebagaimana kisah tentang Salman Al-Farisi dan Abu Darda’. Disebutkan bahwa Nabi ﷺ mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’, lalu kemudian Salman datang mengunjungi Abu Darda’. Akan tetapi ternyata Salman mendapati istri Abu Darda’ dalam keadaan mengenakan pakaian yang kumuh. Abu Juhaifah meriwayatkan bahwa Salman berkata kepada istri Abu Darda’,
مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُوالدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، فَجَاءَ أَبُوالدَّرْدَاءِ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُوالدَّرْدَاءِ يَقُومُ، فَقَالَ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ: نَمْ، فَلَمَّا كَانَ آخِرُ اللَّيْلِ، قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ الآنَ، قَالَ: فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ
“Ada apa denganmu?” Ummu Darda` menjawab, ‘Sesungguhnya saudaramu Abu Darda’ tidak membutuhkan terhadap dunia’. Ketika Abu Darda’ tiba, dia membuatkan makanan untuk Salman lalu berkata, ‘Makanlah, karena aku sedang berpuasa’. Salman menjawab, ‘Saya tidak akan makan hingga kamu ikut makan’. Akhirnya Abu Darda’ pun makan. Ketika tiba waktu malam, Abu Darda’ beranjak untuk melaksanakan shalat, Salman berkata kepadanya, ‘Tidurlah’, maka Abu Darda’ pun tidur. Setelah berapa lama kemudian Abu Darda’ beranjak untuk mengerjakan shalat, namun Salman tetap berkata, ‘Tidurlah’, akhirnya dia tidur. Ketika di akhir malam, Salman berkata kepadanya, ‘Sekarang bangunlah’. Abu Juhaifah berkata, ‘Keduanya pun bangun dan melaksanakan shalat, setelah itu Salman berkata, ‘Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atas dirimu, dan badanmu memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu, maka berikanlah hak bagi setiap yang memiliki hak’. Ketika Nabi ﷺ datang maka Abu Darda’ memberitahukan kejadian itu kepada beliau, Nabi ﷺ bersabda, ‘Salman benar’.”([26])
Ini menunjukkan bahwa Islam tidak dibangun dengan mengesampingkan hawa nafsu kita. Kalau ada seseorang yang mau shalat malam sepanjang malam tanpa tidur, maka Nabi ﷺ melarangnya. Kalau ada seseorang yang ingin berpuasa setiap hari, maka Nabi ﷺ juga melarangnya. Kalau ada seseorang yang tidak mau menikah demi khusyuk dalam ibadah yang lain, maka Nabi ﷺ juga melarangnya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menuturkan,
أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا آكُلُ اللَّحْمَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا؟ لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi ﷺ bertanya kepada istri-istri Nabi ﷺ mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, ‘Saya tidak akan menikahi wanita’. Kemudian sebagian lagi berkata, ‘Aku tidak akan makan daging (berpuasa)’. Dan sebagian lain lagi berkata, ‘Aku tidak akan tidur di atas kasurku (shalat sepanjang malam)’. Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi ﷺ memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda, ‘Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, dan aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku’.”([27])
Ini dalil yang menunjukkan bahwa jika seseorang ingin menjadi hamba yang dekat dengan Allah, maka tidak harus dengan cara meninggalkan segala perkara dunia. Sesungguhnya seseorang bisa menikmati dunia, dan dia juga bisa menjadi hamba yang saleh. Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa rakyat jelata bisa dekat dengan Allah, dan penguasa juga bisa dekat dengan Allah ﷻ . Bahkan Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa pemimpin yang adil adalah mujahid terbaik di zamannya.([28]) Banyak sekali contoh bagi kita bahwa Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia demi mendekatkan diri kepada Allah. Contoh yang kaya dari para sahabat banyak, di antaranya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abdurrahman bin ‘Auf. Contoh yang miskin juga ada dari para sahabat dan bahkan dari para Nabi pun seperti Nabi Isa ‘alaihissalam.
Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang logis. Untuk menjadi dekat dengan Allah tidak harus dengan hidup miskin, tidak harus meninggalkan interaksi dengan orang lain, bahkan tidak harus hidup sendiri tanpa menikah. Islam mengajarkan bahwa siapa pun dan apa pun profesinya, dia bisa dekat dengan Allah ﷻ dan masuk surga.
Berbeda dengan beberapa agama yang lain yang di antaranya adalah Yahudi. Orang-orang Yahudi, konsentrasi mereka segalanya hanya kepada dunia, sampai-sampai Allah ﷻ berfirman tentang mereka,
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 96)
Berbeda pula dengan orang-orang Nasrani, ketika mereka ingin dekat dengan Tuhan, maka mereka harus meninggalkan dunia dengan menjadi pastor. Akhirnya mereka tidak menikah dan tidak memiliki anak. Kita sebagai umat Islam mengatakan bahwa hal seperti itu sungguh sangat tidak logis, karena Nabi ﷺ memiliki istri, bahkan Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam juga memiliki istri.
Demikianlah di antara keindahan Islam, Islam merupakan agama logis yang memperhatikan kebutuhan duniawi dan akhirat setiap orang. Bahkan Nabi ﷺ bersabda,
المُسْلِمُ إِذَا كَانَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ المُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang muslim yang bergaul (berinteraksi sosial) dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul (tidak berinteraksi sosial) dengan orang lain dan tidak bersabar atas gangguan mereka.”([29])
Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan untuk seseorang mengambil jalan untuk meninggalkan perkara-perkara dunia. Hanya saja bagi umat Islam, perkara-perkara dunia itu dijalani untuk memenuhi kebutuhan akhirat.
- Islam adalah agama yang mengajarkan tentang hak kepemilikan yang diatur dengan baik
Islam berada di antara dua metode kepemilikan harta (pertengahan), yaitu di antara metode sosialis dan kapitalis. Metode sosialis menekankan bahwa seseorang tidak boleh memiliki harta yang banyak, dan banyaknya harta seseorang diatur oleh pemerintah, sehingga setiap orang bisa kaya atau miskin bersama. Oleh karena itu, orang-orang dengan sistem keuangan sosialis tidak akan bisa menjadi orang yang kaya raya, karena jika hartanya berlebih maka akan diambil oleh pemerintah dan dibagikan kepada yang lain. Hal seperti ini tentunya merupakan sebuah kezaliman menurut Islam, karena seharusnya orang yang berusaha boleh menikmati apa yang telah dia usahakan. Adapun metode kapitalis, semua orang boleh memiliki harta sebanyak-banyaknya dan menjadi miliknya. Akhirnya, orang dengan metode kapitalis ini menjadi tidak begitu peduli dengan orang lain yang lebih membutuhkan, dan akhirnya dia hanya berfoya-foya dengan harta yang dia miliki.
Islam adalah agama yang sistem kepemilikan harta berada di antara keduanya. Yaitu Islam membolehkan seseorang menguasai harta yang dia miliki sepenuhnya, akan tetapi penggunaannya harus ikut dengan aturan Allah ﷻ . Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar umatnya tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan harta. Bahkan Allah ﷻ berfirman,
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara syaithan dan syaithan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”(QS. Al-Isra’ : 26-27)
Maka dari itu, Islam membuat sebuah logika tentang harta bahwa harta adalah milik kita sehingga boleh kita gunakan untuk urusan akhirat seperti sedekah dan yang lainnya, dan bisa juga digunakan untuk urusan dunia selama tidak berlebih-lebihan. Oleh karena itu, dalam banyak ayat Allah ﷻ menegaskan bahwa hakikat harta adalah miliki Allah, hanya saja dititpkan kepada kita, sehingga seharusnya seorang muslim harus menggunakan harta itu sesuai dengan aturan sang pemilik harta yang sesungguhnya. Allah ﷻ berfirman,
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).” (QS. Al-Hadid : 7)
Ayat ini menjelaskan tentang hakikat sebuah harta, yaitu Allah ﷻ yang membuat harta itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Contohnya adalah seseorang yang mendapatkan warisan dari orang tuanya. Sebelumnya, harta tersebut adalah miliki orang tuanya, dan kemudian menjadi miliknya, dan setelah beberapa lama dia kemudian akan mewariskan harta tersebut kepada anaknya atau orang lain. Ini menunjukkan bahwa harta itu hakikatnya berpindah tangan, maka jika kebetulan harta itu ada pada diri kita, maka kita berhak menggunakannya namun tidak boleh menyelisihi aturan Allah ﷻ, yaitu tidak boleh berlebih-lebihan dan tidak boleh membelanjakannya pada perkara yang haram.
Sangat banyak dalil dalam Al-Quran yang memerintahkan untuk kita berinfak. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi dalil bahwasanya orang Islam dianjurkan untuk mencari harta untuk bisa berinfak dan bayar zakat. Islam mengajarkan untuk mencari dunia agar dunia tersebut digunakan untuk akhirat seperti membantu orang lain, kerabat, fakir miskin. Seseorang boleh memiliki rumah yang luas, mobil yang bagus, pakaian yang indah, akan tetapi kita tidak boleh bersifat kapitalis sehingga dengan seenaknya menggunakan harta dengan mengabaikan aturan yang ada.
Demikianlah di antara keindahan Islam, tidak membenarkan sistem kapitalis maupun sosialis, akan tetapi Islam berada di tengah-tengah sehingga seseorang bisa menguasai harta dengan penggunaan yang disesuaikan dengan aturan Allah ﷻ .
- Islam adalah agama yang mengagungkan dan memperhatikan hak-hak wanita
Sebelum Islam datang, wanita di Jazirah Arab adalah makhluk yang terhinakan dengan tidak mendapatkan warisan, bolehnya dicerai dan rujuk berkali-kali, dan bentuk penghinaan lainnya. Di lain sisi, di negara-negara barat kita mendapati bahwa wanita dihinakan dalam bentuk pengagungan, sehingga wanita dituntut untuk bisa sama dengan laki-laki, sehingga para wanita juga melakukan apa yang laki-laki lakukan, bahkan tidak jarang para wanita di sana melakukan sesuatu yang tidak pantas untuk dilakukan bagi seorang wanita. Akhirnya para wanita di sana bebas keluar rumah, bebas menggunakan pakaian yang menampakkan aurat mereka, dan akhirnya semua orang bisa menikmati penampilannya secara cuma-cuma. Yang lebih miris daripada itu adalah wanita di sana seperti barang jualan yang dengan bebas orang menggunakannya.
Maka di antara indahnya Islam adalah Islam merupakan agama yang sangat mengagungkan hak-hak wanita. Bahkan tidak ada agama yang memberikan pengagungan terhadap hak-hak wanita melebihi cara pengagungan Islam terhadap hak-hak mereka. Oleh karena itu, tidak boleh dalam Islam ada penyamaan antara laki-laki dan wanita, sehingga emansipasi tidak bisa berlaku kecuali hanya dalam sebagian kecil perkara saja. Di antara persamaan yang boleh adalah persamaan dalam menuntut ilmu, persamaan dalam bertakwa, persamaan dalam berpuasa, persamaan dalam bersedekah, dan persamaan dalam beberapa bentuk ibadah lainnya. Artinya, wanita hanya bisa disamakan haknya dengan laki-laki dalam sebagian hal, karena wanita diciptakan dengan sifat-sifat khususnya tersendiri. Maka dari itu, barangsiapa yang ingin menyamakan antara keduanya, laki-laki dan perempuan, maka dia akan berbuat zalim.
Islam tidaklah menjunjung persamaan, akan tetapi Islam menjunjung keadilan, dan kita pahami bahwa yang dimaksud dengan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Oleh karena itu, banyak ayat di dalam Al-Quran dimana Allah ﷻ membedakan suatu hal. Di antaranya firman Allah ﷻ,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ
“Katakanlah (Muhammad), “Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat? Atau samakah yang gelap dengan yang terang?’.” (QS. Ar-Ra’d : 16)
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
“Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang Islam itu seperti orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS. Al-Qalam : 35)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar : 9)
Artinya, firman-firman Allah ﷻ yang seperti ini merupakan konsekuensi bahwa yang beda harus dibedakan dan tidak boleh disamakan. Maka tidak benar hal-hal yang didengungkan oleh orang-orang Liberal yang mengatakan bahwa kita harus bersikap adil terhadap wanita dalam bentuk persamaan. Ketahuilah bahwa ini adalah kesalahan yang sangat nyata, justru menyamakan sesuatu yang beda adalah sebuah ketidakadilan. Contoh, antara seorang pegawai staf dan kepala direksi, kemudian staf melakukan protes kepada manajer atau pemilik perusahaan untuk menyamakan gaji mereka sebagaimana gaji kepala direksi. Maka apakah ini yang dinamakan keadilan? Tidak, yang seperti ini bahkan sebuah kezaliman. Oleh karena itu, jangan terprovokasi dengan propaganda bahwa keadilan itu artinya harus menyamakan.
Islam membedakan antara laki-laki dan wanita. Sesungguhnya wanita diciptakan dengan tabiat lemah lembut, dengan mendahulukan emosional daripada akalnya. Adapun laki-laki diciptakan dengan tabiat fisik kuat, dengan mendahulukan akal daripada emosionalnya. Sebab perbedaan ini, laki-lakilah yang kemudian bekerja mencari nafkah karena memiliki fisik yang kuat, sedangkan wanita tinggal di rumah membantu segala urusan di rumahnya yang membutuhkan kelembutan seperti mendidik anak dan yang lainnya. Akan tetapi lihatlah di sebagian daerah lain, laki-laki dan wanita sama-sama bekerja, padahal masing-masing telah memiliki pasangan dan anak-anak. Bahkan di sebagian daerah ada wanita yang melakukan pekerjaan yang berat seperti menjadi tukang batu dan yang semisalnya. Sungguh kita sangat miris melihat wanita melakukan yang demikian. Oleh karena itu, Islam mengatur bahwa laki-laki memiliki tempat dan wanita juga memiliki tempatnya.
Di antara pengagungan Islam terhadap wanita adalah seorang wanita tidak boleh menikah kecuali dengan adanya wali nikah. Apa hikmahnya? Kita sangat paham bahwa wanita sangat mudah untuk digoda, sehingga jika tidak ada wali maka laki-laki yang datang biasanya akan berbuat semena-mena, dan tidak lama setelah menikah akhirnya diceraikan. Akan tetapi ketika ada wali, maka laki-laki tidak akan semena-mena karena ada aturan-aturan yang harus dia penuhi. Di antara pengagungan yang lain pula adalah wanita tidak boleh bersafar tanpa mahramnya agar ada yang menjaganya, agar tidak ada yang mengganggunya, dan agar ada orang yang bisa membantunya setiap kali dia membutuhkan bantuan. Di antara pengagungan Islam yang lain terhadap wanita adalah Islam memerintahkan untuk seorang anak berbakti kepada ibu melebihi porsi baktinya kepada ayahnya. Islam juga mengajarkan untuk seorang ayah memberikan perhatian yang besar terhadap anak-anak perempuan, sampai-sampai dalam sebuah hadits disebutkan bahwa anak-anak perempuan bisa menjadi hijab bagi orang tuanya dari neraka. Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ يَلِي مِنْ هَذِهِ البَنَاتِ شَيْئًا، فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang diuji sesuatu karena anak-anak perempuannya lalu ia berlaku baik terhadap mereka maka mereka akan melindunginya dari api neraka.”([30])
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa orang-orang Islam Liberal yang terpengaruh dengan pola pikir orang-orang kafir, datang dan menanamkan pola pikir tersebut bahwa laki-laki dan wanita harus disamakan, sehingga apa yang boleh bagi laki-laki maka boleh pula bagi wanita. Sungguh hal tersebut adalah hal yang mustahil. Jika benar harus disamakan, maka cobalah perintahkan untuk laki-laki juga mengandung sebagaimana wanita mengandung, tentu tidak akan bisa. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita itu beda. Akan tetapi demikianlah orang-orang Liberal memaksakan pola pikir mereka yang salah kepada umat Islam zaman sekarang. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa jika laki-laki boleh mencerai, maka wanita juga bisa menceraikan suaminya, sehingga jika laki-laki diceraikan oleh wanita maka ada masa idah bagi laki-laki. Mereka juga mengatakan bahwa wanita bisa menjadi imam shalat bagi laki-laki, dan bahkan bisa menjadi khatib Jumat. Sungguh kita tidak bisa paham bagaimana cara berpikir orang-orang Liberal, sampai mereka bisa mengatakan hal yang demikian.
Demikian pula laki-laki di negara-negara barat memandang bahwa wanita adalah pesaing bagi laki-laki lain. Akhirnya, para wanita kemudian keluar dari rumahnya seperti laki-laki dan mereka boleh dijamah oleh siapa saja. Para wanita mirip seperti mobil angkutan umum, siapa saja bisa naik angkutan tersebut. Adapun Islam memandang bahwa wanita adalah partner bagi laki-laki dan saling melakukan tugasnya masing-masing. Islam memandang wanita sebagai makhluk spesial, sehingga untuk menyentuhnya harus dengan memenuhi aturan-aturan yang diatur dalam Islam. Oleh karena itu penulis katakan bahwa tidak ada konsep yang paling indah dalam mengagungkan hak-hak wanita selain konsep yang dibawa oleh Islam.
- Islam adalah agama yang realistis
Di antara indahnya Islam adalah Islam merupakan agama yang realistis. Di antara sifat realistisnya Islam adalah Islam mengajarkan kita bahwa kehidupan dunia ini hannyalah bentuk ujian, dan kebahagiaan yang sempurna hanya ada di surga. Tidak ada manusia hidup di dunia ini kecuali dia pernah mengalami kesedihan dan kekhawatiran. Sesungguhnya kesedihan dan kekhawatiran itu hanya akan hilang ketika seseorang sudah berada di surga. Allah ﷻ berfirman,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنْتُمْ تَحْزَنُونَ
“(Allah berfirman), ‘Masuklah kamu ke dalam surga. Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati’.” (QS. Al-A’raf : 49)
Demikian pula firman Allah ﷻ ketika melarang Nabi Adam ‘alaihissalam memakan buah yang telah Allah tetapkan,
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
“Kemudian Kami berfirman, ‘Wahai Adam, sungguh ini (Iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka (sengsara).” (QS. Thaha : 117)
Artinya kebahagiaan itu adanya di surga, adapun dunia adalah tempatnya seseorang berusaha.
Oleh karena itu, seharusnya setiap muslim adalah orang yang paling kuat dalam menjalani problematik kehidupan dunia, karena dia tahu bahwa dunia adalah medan untuk seseorang diuji. Bukankah Allah ﷻ juga telah berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“(Dia Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk : 2)
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. Hud : 7)
Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran dan hadits-hadits Nabi ﷺ yang menerangkan bahwa dunia ini adalah tempatnya diuji. Bahkan Nabi ﷺ pernah ditanya oleh seorang sahabat,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ
“Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab; ‘Para Nabi, lalu orang-orang saleh, kemudian orang yang paling mulia, kemudian yang paling mulia setelahnya dari manusia.”([31])
Imam Syafi’i rahimahullah juga berkata,
مِحَنُ الزَمانِ كَثيرَةٌ لا تَنقَضي وَسُرورُهُ يَأتيكَ كالأَعيادِ
“Cobaan zaman banyak datang silih berganti, adapun kesenangan datang hanya sesekali saja.”([32])
Demikianlah yang diajarkan oleh Islam bahwa kehidupan dunia ini bukanlah tempatnya kebahagiaan yang sempurna. Islam hanya mengajarkan agar setiap orang bersabar terhadap berbagai macam ujian, dan tentunya dalam kesabaran tersebut terdapat pahala yang besar dan juga hikmah yang luar biasa. Oleh karena itu, tidak ada orang di dunia ini hidup tanpa dihiasi dengan kesedihan, maka Islam mengajarkan hakikat kehidupan tersebut sehingga setiap orang harus bersabar dan mencari solusi.
Selain daripada itu, di antara bentuk realistisnya Islam adalah Islam tidak mengajarkan seseorang untuk bunuh diri sebagai solusi untuk keluar dari segala permasalahan yang ada di dunia. Bahkan syariat Islam telah mengancam bahwa barangsiapa yang bunuh diri maka dia akan dimasukkan dalam neraka Jahannam. Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Barangsiapa membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka dengan besi yang tergenggam di tangannya itulah dia akan menikam perutnya dalam neraka Jahannam secara terus-terusan dan dia akan dikekalkan di dalam neraka. Barangsiapa membunuh dirinya dengan meminum racun maka dia akan meminum racun itu dalam neraka Jahannam secara terus-terusan dan dia akan dikekalkan di dalam neraka tersebut untuk selama-lamanya. Begitu juga, barangsiapa membunuh dirinya dengan terjun dari puncak gunung, maka dia akan terjun ke dalam neraka Jahannam secara terus-terusan untuk membunuh dirinya dan dia akan dikekalkan dalam neraka tersebut untuk selama-lamanya.”([33])
Bunuh diri bukanlah solusi, melainkan hal itu adalah awal dari kebinasaan mereka, karena akhirnya mereka yang bunuh diri hanya berpindah dari kesengsaraan dunia menuju kesengsaraan akhirat. Oleh karena itu, kita dapati bahwa negara yang paling rendah tingkat kasus bunuh dirinya adalah negara-negara Islam. Adapun negara-negara kafir memiliki persentase kasus bunuh diri paling banyak. Negara yang banyak kasus bunuh diri adalah negara yang banyak menganut keyakinan Ateis. Demikian pula negara yang menganut kepercayaan adanya reinkarnasi, mereka akan mudah untuk bunuh diri karena meyakini bahwa mereka akan hidup lagi. intinya, kasus bunuh diri di atas muka bumi ini sangat tinggi, bahkan terakhir penulis membaca bahwa kurang lebih ada 800.000 orang yang bunuh diri setiap tahunnya. Adapun angka kasus percobaan bunuh diri yang gagal jauh lebih banyak dari angka kasus bunuh diri itu sendiri.
Oleh karena itu, di antara keindahan Islam adalah Islam mengajarkan setiap orang untuk realistis, bahwa segala apa yang ada di dunia ini hanyalah ujian, sehingga siapa pun kita maka kita diperintahkan untuk bersabar dan menantikan kebahagiaan yang sempurna di surga kelak. Islam sama sekali tidak mengajarkan bahwa jika seseorang masuk Islam maka dia akan terhindar dari segala bentuk kesedihan dan kesengsaraan, karena yang demikian adalah sebuah hal yang tidak realistis, dan juga Nabi ﷺ sendiri pernah bersedih dan menangis. Maka kita katakan bahwa tidak agama selain Islam yang mengajarkan untuk bersabar dengan kesabaran yang besar seperti Islam.
- Islam adalah agama yang setiap perintahnya ada maslahat, dan setiap yang diharamkan ada kemudharatan
Pada hakikatnya, setiap syariat yang Allah ﷻ tetapkan itu baik, perintah-Nya itu baik karena mengandung maslahat, dan larangannya itu baik karena terdapat mudharat yang harus dijauhi.
Contoh sederhana, Islam memerintahkan untuk menjalankan praktik qishash. Allah ﷻ berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 179)
Hal ini tentu benar. Tentu kita paham bahwa sejatinya tidak ada orang yang ingin mati. Akan tetapi ketika seseorang tahu bahwa dia tidak akan dibunuh jika dia membunuh, dan dia hanya akan dapat hukuman penjara, maka dia akan mudah untuk membunuh orang, sehingga akhirnya darah seseorang menjadi murah di sisi mereka. Adapun jika hukum qishash diterapkan, orang-orang akan takut berbuat zalim. Setiap kali ada orang yang ingin membunuh seseorang, maka konsekuensinya adalah dia juga akan dibunuh. Setiap kali mereka memukul, maka mereka juga akan dipukul. Maka dengan menegakkan praktik qishash, keberlangsungan hidup akan terjaga.
Jika seseorang tahu bahwa dia akan dibunuh karena membunuh, maka mereka pasti tidak akan membunuh. Dan praktik qishash ini adalah solusi yang terbaik untuk menghilangkan praktik pembunuhan yang ada di alam semesta ini, akan tetapi sangat disayangkan bahwa masih banyak orang menolak syariat ini karena menganggap bahwa syariat ini kejam, dan mereka mencari solusi-solusi lain yang pada akhirnya tidak pernah menjadi solusi. Padahal bagi kita umat Islam, syariat Islam adalah syariat yang terbaik karena diturunkan langsung oleh Allah ﷻ, Tuhan semesta alam. Karena betapa sering jika suatu hukum berasal dari manusia, sering kali masih selalu ada celah dan kekurangannya, dan tidak jarang hukum tersebut dipertentangkan di antara manusia.
Contoh yang lain adalah khamr. Islam melarang seseorang untuk meminum khamr karena dapat menghilangkan akal meski hanya beberapa saat, dan juga khamr akan membuat peminumnya akan tampak seperti orang gila yang hilang kesadarannya. Apakah ada seseorang yang ridha jika dirinya seperti orang gila? Tentu tidak. Akan tetapi dalam sebagian agama yang lain, khamr menjadi sarana dalam peribadahan mereka. Setiap kali mereka beribadah maka akan ada acara minum khamr. Di antara ritual ibadah mereka ada yang disebut dengan jamuan malam, dimana malam itu mereka makan roti dan minum khamr berwarna merah. Mereka menganggap bahwa roti itu ibarat daging Yesus, dan khamr itu adalah ibarat dari darah Yesus. Oleh karena itu, jika kita membaca Injil yang ada saat ini, akan kita dapatkan kisah bahwa sebagian para Nabi yang diceritakan itu mabuk karena minum khamr. Padahal bagi kita orang Islam, jangankan para Nabi, orang biasa saja tidak mau meminum khamr. Oleh karena itu Islam melarang khamr karena di dalamnya terdapat kemudharatan, dan meninggalkannya terdapat kemaslahatan. Bahkan Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Dengan minuman keras dan judi itu, syaithan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Maidah : 91)
Memang benar bahwa terdapat manfaat dari khamr, akan tetapi kata Allah ﷻ,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya’.” (QS. Al-Baqarah : 219)
Contoh yang lain adalah Islam mengharamkan zina. Ketahuilah bahwa tidak ada agama lain selain Islam yang bertahan sampai sekarang mengharamkan zina sebagaimana konsistennya Islam dalam mengharamkan hal tersebut. Mungkin ada agama-agama lain yang mengharamkan zina, akan tetapi penganutnya tidak pernah bisa konsisten dalam meninggalkannya, sehingga semua orang melakukan zina dengan bebasnya, baik laki-laki maupun wanita. Bagi sebagian agama-agama lain, perzinaan adalah suatu hal yang sangat biasa. Bahkan penulis pernah mendapat keluhan seorang Ikhwan di salah satu negara Eropa, dia mengkhawatirkan putranya yang diejek oleh teman-teman sekolahnya karena dia adalah satu-satunya murid yang belum berzina. Subhanallah, bisa kita bayangkan bagaimana perzinaan itu dianggap biasa bagi sebagian agama. Maka Islam mengharamkan zina karena banyaknya kemudharatan yang timbul dari zina. Di antara kemudharatan zina adalah bisa menghilangkan kebahagiaan rumah tangga, ketidakjelasan nasab anak yang lahir dari hasil zina, seorang laki-laki tidak akan pernah merasa puas dengan satu perzinaan sehingga akan terus berzina, dan kemudharatan yang lainnya.
Demikianlah di antara keindahan Islam, setiap yang diajarkan di dalam Islam adalah kebaikan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang, karena dalam perintah ada maslahat dan pada larangan ada mudharat yang harus dijauhi.
- Islam adalah agama yang logis dalam memperlakukan mayat (orang yang meninggal)
Ruh adalah sesuatu yang gaib bagi kita. Allah ﷻ berfirman tentang Nabi ﷺ yang ditanya tentang ruh,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit’.” (QS. Al-Isra’ : 85)
Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat ruh, padahal ruh itu ada dalam jasadnya. Oleh karenanya dikatakan bahwa jika berkumpul seribu ahli fisika, kimia, dan bahkan ahli biologi, ketika diminta untuk mendefinisikan ruh makan pasti akan ada seribu pendapat pula, karena masing-masing mereka tidak memiliki ilmu tentang ruh itu sendiri. Maka dari itu, jika ruh yang ada dalam jasad masing-masing orang saja tidak ada yang bisa mendeskripsikan dengan baik, maka tentu lebih tidak bisa lagi manusia menjelaskan tentang ke mana ruh itu pergi setelah meninggalkan jasad, bahkan hal ini jauh lebih gaib. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengetahui hakikat ruh kecuali dengan dalil-dalil yang Allah ﷻ dan Nabi ﷺ jelaskan. Dari penjelasan-penjelasan itulah kemudian kita mengetahui tentang bagaimana keadaan ruh ketika seseorang telah meninggal dunia, tentang bagaimana keadaan di alam barzakh, tentang bagaimana hari kebangkitan, dan seterusnya.
Adapun agama-agama lain tidak demikian, mereka memiliki pemahaman-pemahaman yang aneh tentang ruh, karena bagi mereka susah untuk menjelaskan hakikat ruh secara ilmiah, sehingga timbullah pendapat-pendapat yang aneh. Dan sebab pendapat-pendapat aneh tersebut, sikap mereka terhadap mayat pun kemudian bermacam-macam. Contohnya adalah orang-orang Majusi. Menurut mereka, mayat harus didiamkan di rumah selama tiga hari, kemudian diangkat dan dibawa ke sebuah bukit yang tinggi, kemudian dibiarkan dijemur di bawah terik matahari, hingga akhirnya datang burung-burung yang memakan daging mayat tersebut. Ketika telah tinggal tulang-belulang, barulah tulang-tulang tersebut dibuang di sebuah lubang atau sumur tertentu. Mereka beranggapan bahwa dengan terkenanya mayat oleh terik sinar matahari, maka dosa-dosa dan kekurangan sang mayat akan berkurang, dan jasad dimakan oleh burung-burung adalah bentuk penyucian sang mayat.
Contoh lain pula ada sebagian agama yang sikap mereka terhadap mayat adalah dengan membakar jasadnya, padahal ritual seperti ini bisa mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan jika dia adalah orang kaya, maka uang bisa keluar hingga ratusan juta. Adapun bagi orang yang miskin, maka jasad sang mayat akan disimpan di rumahnya menunggu ada orang kaya yang membuat acara ritual kematian, kemudian mereka ikutkan jasad keluarga mereka dalam ritual tersebut.
Contoh yang lain pula, ada sebagian agama yang sikapnya terhadap mayat adalah dengan merias mayat tersebut sebelum dikubur. Bahkan tidak jarang barang-barang kesayangan sang mayat juga ikut dikuburkan bersama sang mayat setelah sang mayat dirias. Bahkan sebagian dari kaum Nasrani membuat di kuburan-kuburan mereka taman-taman, sehingga orang yang datang ke kuburan tersebut akan tenang karena keindahan taman-taman tersebut.
Adapun Islam mengajarkan agar seseorang yang meninggal harus diurus dan dikubur dengan cara yang sederhana, karena tujuan orang dikubur adalah agar orang yang masih hidup senantiasa mengingat kematian. Seberapa kaya apa pun seseorang, tetap saja tidak boleh kuburannya tampak mewah dengan hiasan-hiasan tertentu. Oleh karena itu, jika ada penawaran dan program untuk membuat kuburan dengan hiasan-hiasan, maka itu adalah bentuk tasyabbuh dengan orang-orang Nasrani.
Sebab kesederhanaan Islam dalam memperlakukan jenazah, dahulu sampai ada seorang pendeta yang masuk Islam karena melihat bagaimana pemakaman Malik Fahd bin Abdul ‘Aziz yang sangat sederhana, yang kuburannya pun sama seperti rakyatnya yang termiskin, padahal ketika itu Arab Saudi sedang berada pada posisi yang bagus dalam hal ekonomi. Maka ketahuilah bahwa kesederhanaan pada proses pemakaman dan bentuk kuburan adalah salah satu upaya agar yang masih hidup tidak lupa kalau mereka juga akan meninggal dunia pula. Bukankah dalam doa ziarah kubur kita melafalkan,
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Dan kami insyaallah akan menyusul kalian semua. Saya memohon kepada Allah bagi saya dan kalian keselamatan.”([34])
Demikianlah Islam, sikap yang dilandaskan dengan dalil membuat kita tidak bersikap berlebihan dan aneh terhadap mayat. Sedangkan jika dibandingkan dengan agama lain maka akan kita dapati banyak dari mereka yang memiliki keyakinan yang aneh, bahkan terkadang ada bentuk penghinaan atau pengagungan terhadap mayat secara berlebihan. Padahal sikap mereka itu adalah sikap yang tidak logis untuk diberikan kepada orang yang sudah meninggal dunia.
Footnote:
________
([4]) Syarhu Masail Al-Jahiliyah 1/16
([5]) At-Tauhid Wa Atsaruhu Fii Hayaat Al-Muslim 1/35
([6]) HR. Bukhari no. 5999 dan HR Muslim no. 2754
([10]) Al-Jaami’ Li-Akhlaaq Ar-Raawi Wa Aaadaab As-Saami’ 1/142
([13]) HR. Bukhari no. 6290 dan HR. Muslim no. 2184
([14]) HR. Bukhari no. 263 dalam Adabul Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani
([16]) HR. Ibnu Majah no. 2781
([18]) HR. At-Tirmidzi no. 1949
([23]) Al-Jumuu’ Al-Bahiyah Lil’Aqidah As-Salafiyah 1/341
([24]) Dia adalah ayah dari Shafiyyah bin Huyay yang merupakan salah satu dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
([25]) Sirah Ibnu Hisyam Tahqiq As-Saaq 1/519
([28]) Lihat Majmu’ Fataawaa 28/262
([29]) HR. At-Tirmidzi no. 2507
([32]) Majma’ Al-Hikam Wal Amtsaal Fii Syi’rii Al’Arabi 9/308