قَوْلِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ
Perkataan: Ya Allah Ampuni Aku Jika Engkau Berkehendak
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Matan
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ، اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ، لِيَعْزِمِ الْمَسْأَلَة، فَإِنَ الله لاَ مُكْرِهَ لَهُ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berkata: ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkehendak, Ya Allah rahmatilah aku jika Engkau berkehendak. Hendaklah seseorang membulatkan permintaannya, sebab Allah tidak ada yang memaksanya’.”
Dalam riwayat muslim ada tambahan,
وَلْيُعَظِّمِ الرَّغْبَةَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Hendaklah seseorang membesarkan pengharapannya, karena bagi Allah tidak ada sesuatu yang berat atas apa yang Dia berikan.”
Syarah
Pembahasan ini berkaitan dengan Adab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas tentang larangan mengucapkan “Assalamu ‘alallah”, karena hal itu di antara bentuk tidak beradab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan di antara kesempurnaan tauhid seseorang adalah dia beradab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Tuhan pencipta alam semesta, dalam segala hal yang seluruhnya berkaitan dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, baik itu beradab tatkala menyebut Allah Subhanahu wa ta’ala, beradab tatkala menyebut syariat Allah Subhanahu wa ta’ala, beradab tatkala menyebut aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala, beradab tatkala menyebut tentang kitab dan utusan Allah Subhanahu wa ta’ala, dan yang lainnya. Ini semua adalah konsekuensi dari tauhid, yaitu beradab kepada Allah dalam segala hal yang berkaitan dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka pembahasan kita pada bab ini adalah tentang beradab dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebelum kita berbicara jauh tentang bagaimana adab berdoa atau meminta kepada Allah, terlebih dahulu kita perhatikan bagaimana tatkala di antara kita meminta kepada manusia di atas muka bumi ini. Contoh misalnya seseorang datang kepada raja, kepada presiden, atau kepada penguasa, tentu dia akan beradab kepada yang orang yang dimintai, bahkan mungkin terkadang dia diberi tahu terlebih dahulu tentang SOP meminta. Intinya, seseorang pasti berusaha beradab kepada sang raja, penguasa atau pemimpin ketika meminta kepada mereka. Maka kalau sesama manusia saja kita merasa perlu untuk beradab ketika meminta, maka bagaimana lagi dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia Yang Maha Kuasa, Dia Maha atas segalanya, tentunya seorang tatkala meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dia harus beradab, apalagi pada perkara yang sangat agung, dalam hadits disebutkan,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada yang lebih mulia bagi Allah daripada doa.”([1])
Oleh karena itu, untuk meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka kita harus beradab. Diantara adab berdoa adalah janganlah seorang tatkala minta kepada Allah kemudian dia ragu-ragu sehingga dia berkata “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau berkehendak, Ya Allah rahmatilah aku jika Engkau berkehendak”. Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar seseorang bertekad dalam memohon, jangan diikutkan dalam doanya dengan kalimat “Jika Engkau berkehendak”. Janganlah seseorang berkata “Ya Allah berilah rezeki kepadaku jika Engkau berkehendak”, seakan-akan ia berkata, “Jika Engkau tidak memberi rizki kepada maka tidak mengapa”, tidak boleh seseorang mengatakan demikian, karena sesungguhnya Allah tidak ada yang memaksa-Nya, mudah bagi-Nya untuk mengabulkan permintaan hamba-hamba-Nya.
Pada pembahasan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan sebuah hadits, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ، اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ، لِيَعْزِمِ([2]) الْمَسْأَلَة، فَإِنَ الله لاَ مُكْرِهَ لَهُ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berkata: ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkehendak, Ya Allah rahmatilah aku jika Engkau berkehendak. Hendaklah seseorang membulatkan permintaannya, sebab Allah tidak ada yang memaksa-Nya’.”([3])
Berkaitan hadits ini, para ulama khilaf tentang apakah makna kalimat “لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ” haram atau makruh, yaitu apakah berdoa dengan model seperti yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya haram atau makruh. Pendapat yang benar hukumnya adalah haram, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Adapun sebagian ulama yang mengatakan bahwa hukum mengatakan doa yang seperti itu makruh berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengunjungi orang yang sakit, beliau berkata,
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Tidak apa-apa, semoga bersih dari dosa-dosa Insya Allah.”([4])
Mereka mengatakan bahwa perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini terdapat kalimat istitsna’ (إِنْ شَاءَ اللَّهُ), sehingga perkataan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau berkehendak, Ya Allah rahmatilah aku jika Engkau berkehendak” juga merupakan bentuk istitsna’. Wallahu a’lam bishshawwab, pendapat yang lebih benar hukumnya adalah haram, sebabnya lafal hadits tersebut ada dua kemungkinan, pertama bahwa lafal hadits tersebut meskipun datang dalam bentuk khabar akan tetapi maknanya adalah doa (الإِنْشَاء); kedua lafal hadits tersebut adalah khabar dan maknanya juga adalah pengkhabaran. Yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Insya Allah”, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui secara pasti apakah Allah menghapuskan dosa dengan sebab penyakit tersebut atau tidak, dan jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapkan “Insya Allah” maka seakan-akan pengampunan dosa atas orang sakit adalah hal yang pasti, padahal tidak. Wallahu a’lam, kemungkinan kedua inilah yang lebih tepat. Oleh karenanya, pendalilan makruhnya hukum berdoa “Ya Allah ampuni aku jika Engkau berkehendak” dengan dalil doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjenguk orang sakit adalah kurang tepat.
Perhatikan dalam hadits yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang mengatakan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau berkehendak, Ya Allah rahmatilah aku jika Engkau berkehendak”, meminta ampun dan rahmat yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan hanyalah sekadar contoh dan bukan untuk pembatasan bahwa pelarangan hanya pada kedua doa tersebut, akan tetapi pelarangan berdoa dengan perkataan “Jika Engkau berkehendak” berlaku untuk seluruh bentuk doa. Maka dari itu, tidak boleh seseorang berkata, “Ya Allah berikan rezeki kepadaku jika Engkau berkehendak”, “Ya Allah selamatkanlah aku jika Engkau berkehendak”, “Ya Allah sembuhkanlah aku jika Engkau berkehendak”, dan bentuk-bentuk doa yang lain. Ini semua tidak boleh karena hukumnya haram.
Jika seseorang tidak boleh berdoa dengan doa tersebut, maka yang harus dilakukan adalah membulatkan permohonannya. Jika dia ingin diampuni maka hendaknya dia mengatakan “Ya Allah ampunilah aku, Ya Allah rahmatilah aku”. Jadi, tidak perlu ada tambahan “Jika Engkau berkehendak”, karena tidak ada yang memaksa Allah Subhanahu wa ta’ala, bahkan dalam riwayat muslim Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
وَلْيُعَظِّمِ الرَّغْبَةَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Hendaklah ia membesarkan pengharapannya, karena bagi Allah tidak ada sesuatu yang berat apa yang Dia berikan.”([5])
Maka karena tidak ada yang berat bagi Allah serta tidak ada yang memaksa-Nya, maka jangan kemudian kita berdoa dengan menambahkan “Jika Engkau berkehendak”. Membesarkan harapan di sini ada dua makna, pertama adalah Al-Ilhah (merengek-merengek), kedua adalah mintalah kepada Allah dan jangan ragu.
- Merengek-rengek saat meminta adalah hal yang disukai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah senang jika seorang hamba menunjukkan kebutuhannya kepada Allah, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah maka Allah akan murka kepadanya.”([6])
Meminta dengan merengek-merengek adalah bukti bahwa seorang hamba merasa butuh kepada Allah, dan doa itu sendiri adalah ibadah yang tentunya seseorang mendapat pahala saat memanjatkan doa kepada Allah.
- Mintalah kepada Allah dan jangan ragu. Mintalah kepada Allah tanpa harus merasa bahwa permintaan kita besar, akan tetapi yang harus dibesarkan adalah permintaannya, dan jangan mengatakan bahwa itu sulit bagi Allah untuk mengabulkannya. Sesungguhnya telah banyak perkara yang menurut kita mustahil namun ternyata Allah kabulkan. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
أَتَهْزَأُ بِالدُّعَاءِ وَتَزْدَرِيهِ، وَمَا تَدْرِي بِما صَنَعَ الدُّعَاءُ
“Apakah engkau meremehkan sebuah doa dan menyepelekannya? Tidakkah engkau tahu apa yang bisa dihasilkan oleh doa?”
Sebab-sebab pelarangan berdoa dengan cara seperti ini
Secara umum, ada empat sebab mengapa doa dengan “Jika Engkau berhkendak” diharamkan :
Pertama: Berdoa dengan cara seperti ini menunjukkan bahwa seakan-akan orang yang berdoa tidak merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Perkataan “Ya Allah ampuni aku jika Engkau berkehendak” seakan-akan dia tidak butuh, karena makna perkataannya adalah jika Allah tidak mengampuninya maka tidak mengapa baginya, dan ini menunjukkan tidak merasa butuh kepada Allah. Maka berdoa dengan model seperti ini adalah kesalahan fatal, sebab kita sebagai manusia (hamba Allah) adalah fakir secara dzat dan dalam segala kondisi, sehingga seharusnya kita senantiasa merasa butuh kepada Allah, detak jantung kita senantiasa butuh kepada Allah, nafas kita butuh kepada Allah, kita berpijak di atas bumi yang Allah ciptakan, maka ini menunjukkan bahwa kita senantiasa butuh kepada Allah, lantas kenapa ketika berdoa kemudian kita merasa tidak butuh?
Kedua: Berdoa dengan cara seperti itu menunjukkan bahwa seakan-akan ada yang sulit bagi Allah untuk Dia kabulkan. Kita sangat paham bahwa semua mudah bagi Allah, akan tetapi doa seperti ini seakan-akan menunjukkan bahwa ada yang susah bagi Allah, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
فَإِنَّ اللهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Karena bagi Allah tidak ada sesuatu yang berat apa yang Dia berikan.”([7])
Bahkan dalam hadits qudsi Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ،
“Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan (hingga hari kiamat), serta semua jin dan manusia berdiri di atas dataran untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti jarum ketika dimasukkan ke dalam lautan.”([8])
Jarum ketika di masukkan ke dalam lautan, maka saat diangkat hanya tersisa sedikit air yang menempel di jarum, bahkan dikatakan air yang menempel tersebut akan jatuh kembali ke laut sehingga tidak ada yang tersisa. Inilah penggambaran dari Allah Subhanahu wa ta’ala bahwasanya tidak akan mengurangi kekuasaan Allah sama sekali meskipun seluruh permintaan makhluk-Nya dikabulkan. Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak perlu seseorang ragu-ragu meminta kepada Allah karena Allah Maha Memberi, karena Allah Maha Kaya.
Lihatlah dalam hadits lain pula, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَدُ اللَّهِ مَلْأَى لاَ يَغِيضُهَا نَفَقَةٌ، سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Tangan Allah selalu penuh (dengan pemberian), tidak mengurangi (kekayaan-Nya) dengan pemberian-Nya, selalu memberi baik malam dan siang.”([9])
Setiap hari Allah Subhanahu wa ta’ala memberi rezeki dan anugerah-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang begitu banyak. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda,
أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُنْذُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَغِضْ مَا فِي يَدِهِ، وَقَالَ: عَرْشُهُ عَلَى المَاءِ، وَبِيَدِهِ الأُخْرَى المِيزَانُ، يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ
“Tidakkah kalian telah lihat apa yang Allah infakkan semenjak Dia mencipta langit dan bumi? Sesungguhnya tidak berkurang sedikit pun apa yang di tangan-Nya.”([10])
Wahai saudaraku, kalau kita meminta kepada manusia maka wajar ada rasa sungkan ketika meminta. Contohnya saja kita meminta kepada raja, dan taruhlah dia menguasai dunia, pasti masih ada rasa sungkan bagi kita jika meminta banyak-banyak, karena kita tahu bahwa siapa pun dia, pasti asalnya dia adalah orang yang fakir secara dzatnya. Sesungguhnya Allah yang memberikan kekayaan kepadanya, dan meskipun dikatakan dia kaya raya maka kekayaannya itu hanya nisbi, hanya kaya pada sebagian sisi dan fakir pada bagian sisi lainnya, sehingga artinya dia tidak memiliki kekuasaan secara mutlaq. Dia boleh dikatakan kaya, akan tetapi di sisi lain dia masih butuh kepada dokter, butuh kepada pengawalnya, butuh kepada menterinya, dan yang lainnya, artinya dia masih kekurangan. Semakin kita meminta kepadanya dan diberi, maka pasti semakin lama akan ada rasa sungkan karena kita tahu bahwa orang yang kita minta kepadanya juga memiliki aset yang terbatas, tanggungan dan kebutuhannya juga banyak, dan bahkan bisa jadi semakin sering kita meminta maka dia akan marah kepada kita. Oleh karena itu, tidak ada yang Maha Kaya seperti Allah Subhanahu wa ta’ala, dan semakin seseorang meminta kepada Allah maka Allah akan semakin senang kepadanya, Allah akan semakin dekat kepadanya. Inilah di antara sebab mengapa berdoa dengan “Jika Engkau berkehendak” itu dilarang, yaitu seakan-akan ada yang berat untuk Allah kabulkan, padahal tidak ada yang susah bagi Allah.
Ketiga: Berdoa dengan cara seperti itu seakan-akan menunjukkan bahwa Allah itu bisa memberi dengan terpaksa, yaitu seperti ada yang memaksa Allah untuk memberi. Orang yang berdoa dengan mengatakan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau berkehendak” seakan-akan maknanya “Ya Allah ampuni aku jika Engkau berkehendak, jika engkau tidak berkehendak maka tidak mengapa”. Inilah sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam sabdanya,
فَإِنَ الله لاَ مُكْرِهَ لَهُ
“Sebab Allah tidak ada yang memaksanya’.”([11])
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak pernah terpaksa dalam memberikan pemberian, maka mintalah kepada Allah tanpa insya’. Bukankah betapa banyak yang menurut kita suatu hal sangat besar untuk Allah berikan kepada kita, akan tetapi ternyata kecil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, tinggal kemudian apakah Allah akan memberikan atau tidak, dan itu tidak menunjukkan bahwa Allah memberi dengan terpaksa.
Berbeda dengan raja dunia, kita melihat di dunia ini bahwa banyak sekali sesuatu yang dia berikan dengan terpaksa. Dia mungkin tidak suka akan tetapi karena sebab-sebab tertentu akhirnya mau tidak mau dia tetap memberi karena ada hal-hal yang memaksanya untuk melakukan demikian. Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala tidak ada yang memaksa-Nya, sehingga tidak perlu kita mengatakan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau berkehendak”, cukup katakan “Ya Allah ampuni aku” karena tidak ada yang berat bagi Allah.
Keempat: Berdoa dengan menambahkan kalimat “Jika Engkau berkehendak” tidak ada faedahnya, karena pengabulan doa itu sendiri adalah atas kehendak Allah. Maksudnya, untuk apa kita mengatakan “Ya Allah kabulkan doaku jika Engkau berkehendak” sementara dikabulkannya doa atau tidak adalah kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala? Maka untuk apa kita mengatakan demikian? Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ
“(Tidak), hanya kepada-Nya kamu minta tolong. Jika Dia menghendaki, Dia hilangkan apa (bahaya) yang kamu mohonkan kepada-Nya, dan kamu tinggalkan apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (QS. Al-An’am: 61)
Oleh karena semua atas kehendak Allah, maka berdoa dengan menambah kalimat “Jika Engkau berkehendak” maka tidak ada faedahnya sama sekali.
Inilah beberapa sebab mengapa doa dengan insya’ itu dilarang. Oleh karena itu, seseorang tatkala dia berdoa maka tidak perlu dia ragu-ragu, bahkan hendaknya dia membulatkan tekadnya dalam berdoa dan membesarkan pengharapannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Hukum doa yang diakhiri “Insya Allah”
Ada permasalahan-permasalahan yang sering kita dengar, yaitu orang-orang mengakhiri doanya dengan “Insya Allah”. Seperti seseorang berkata, “Semoga lekas sembuh insya Allah”, “Selamat di jalan ya, insya Allah”. Doa yang diakhiri dengan kalimat “Insya Allah” terbagi menjadi dua,
Pertama: ditujukan langsung kepada Allah, yaitu Allah sebagai kata ganti kedua (Al-Mukhatab). Contoh seperti kalimat “Ya Allah ampuni aku jika Engkau berkehendak”.
Kedua: Tidak ditujukan langsung kepada Allah (Allah bukan sebagai Al-Mukhatab), melainkan Allah sebagai kata ganti orang ketiga. Contoh seperti seseorang mengatakan “Semoga Allah merahmatimu Insya Allah”.
Perhatikan contoh kasus masing-masing model di atas, untuk model pertama, yaitu menjadikan Allah sebagai orang kedua (langsung), maka telah kita bahas di atas bahwa hukumnya haram. Adapun model kedua adalah yang banyak digunakan dan terjadi di masyarakat, yaitu seseorang sering mengatakan misanya “Semoga engkau dirahmati Insya Allah”, “Semoga selamat dalam perjalanan Insya Allah”. Adapun model kedua ini, ada khilaf di kalangan para ulama, dan secara umum terbagi menjadi dua pendapat,
Pendapat pertama: Hukumnya boleh. Para ulama yang mengatakan bahwa doa yang menjadikan Allah sebagai kata ganti orang kedua boleh (diakhirkan insya Allah) berdalil dengan beberapa dalil,
- Lafal hadits yang dilarang berkaitan dengan kata ganti orang kedua. Maka tentu tidak sama apabila Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai kata ganti orang ketiga.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga berkata,
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Tidak apa-apa, semoga bersih dari dosa-dosa Insya Allah.”([12])
- Mengucapkan “Insya Allah” adalah untuk berkah. Orang-orang mengatakan “Insya Allah” adalah untuk keberkahan, bukan untuk menggantungkan kepada kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini juga sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ
“Dan kedua orang tuanya (Yusuf) berkata, ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman’.” (QS. Yusuf: 99)
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ
“Kalian pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman.” (QS. Al-Fath: 27)
Pendapat kedua: Hukumnya haram sebagaimana doa dengan “Jika Engkau berkehendak”. Pendapat ini lebih kuat dan juga lebih hati-hati. Para ulama yang berpendapat haram mengatakan bahwasanya meskipun lafal yang datang adalah hadits tentang kata ganti orang kedua, akan tetapi illah (sebab)nya sama yaitu selama digantungkan dengan kehendak Allah maka tidak ada bedanya antara Allah sebagai kata ganti kedua atau ketiga, sama saja bahwa kita seakan-akan ragu bahwa Allah bisa mengabulkannya. Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang doa menjenguk orang sakit, maka telah kita bahas bahwasanya lafalnya datang dalam bentuk khabar dan bukan sebagai doa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Insya Allah” karena beliau tidak tahu hakikat penyakit tersebut menghapuskan dosa atau tidak, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan demikian karena tidak tahu, sehingga dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang mengkhabarkan. Kemudian jika dikatakan bahwa orang mengatakan “Insya Allah” untuk keberkahan, maka yang sesungguhnya kita lihat adalah orang-orang mengatakannya bukan dalam rangka untuk keberkahan, akan tetapi maksudnya adalah “Mudah-mudahan atau semoga”, sehingga masih tampak keraguan dalam doa tersebut, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal tersebut dan memerintahkan agar berdoa dengan yakin, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai (ragu-ragu).”([13])
Oleh karena itu, saya mengingatkan kepada kita semua bahwasanya tatkala kita mendoakan orang lain maka tidak perlu lagi kita menambah dengan tambahan “Insya Allah”, langsung sampaikan doanya saja dan itu lebih afdhal (utama). Memang dikatakan bahwa ini masalah khilaf, akan tetapi yang lebih utama ada tanpa menggantungkan doa dengan menyebut “Insya Allah”.
Adab-adab dalam berdoa
Adab-adab dalam berdoa terbagi menjadi dua, yaitu hal-hal yang perlu untuk dijauhi dan hal-hal yang perlu untuk dilakukan.
- Hal-hal yang perlu untuk dijauhi
Di antara hal-hal yang perlu untuk seseorang jauhi tatkala berdoa kepada Allah di antaranya:
Pertama: Berbuat syirik dalam berdoa. Yaitu jangan meminta kepada makhluk, jangan meminta kepada mayat, jangan meminta kepada wali, dan yang lainnya. Cukupkan diri untuk meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kedua: Berdoa dengan kezaliman dan memutuskan silaturahmi. Jangan kemudian seseorang berdoa “Ya Allah semoga dia dipisahkan dari suaminya”, atau “Ya Allah semoga dia ribut dengan kakaknya”, dan yang semisalnya. Untuk apa kita berdoa dengan keburukan? Cukupkan diri dengan doa baik-baik.
Ketiga: Berlebihan dalam berdoa. Di antara contoh berlebih-lebihan dalam berdoa misalnya seperti seseorang berkata “Ya Allah jadikanlah aku Nabi”, “Ya Allah jadikanlah aku malaikat”, atau yang semisalnya. Untuk apa seseorang berdoa dengan doa yang seperti ini? Di antara juga berdoa dengan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam,
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku.” (QS. Shad: 35)
Contoh lain seperti berdoa dengan terlalu detail, “Ya Allah anugerahkan aku istana di Surga yang di dalamnya ada 20 Bidadari berwarna hijau, dan di depannya ada sumur, dan seterusnya”, permintaan seperti ini adalah permintaan yang berlebihan, cukuplah dengan meminta untuk dimasukkan ke dalam surga, karena di surga sesungguhnya akan tersedia fasilitas yang jauh lebih bagus daripada yang kita bayangkan.
Keempat: Ragu-ragu dalam berdoa dengan berkata “Insya Allah” atau “Jika Engkau berkehendak”. Telah kita sebutkan bahwa kalimat “Jika Engkau berkehendak” atau “Insya Allah” masih mengandung keragu-raguan jika ditambahkan dalam doa. Cukuplah seseorang berdoa dengan langsung tanpa tambahan insya’.
- Hal-Hal yang perlu untuk dilakukan
Sangat banyak hal-hal yang bisa dan perlu untuk kita lakukan ketika berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, di antaranya:
Pertama: Al-Ilhah (merengek-rengek) dalam berdoa.
Kedua: Mengulangi doa tiga kali. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
وَكَانَ إِذَا دَعَا دَعَا ثَلَاثًا، وَإِذَا سَأَلَ سَأَلَ ثَلَاثًا
“Dan apabila beliau berdoa, biasanya beliau mengulanginya sampai tiga kali, dan apabila beliau meminta, beliau juga mengucapkan tiga kali.”([14])
Ketiga: Yakin dan husnuzan kepada Allah. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan.”([15])
Maka jangan sampai tatkala kita berdoa terlintas di benak kita bahwa kita bisa mencoba untuk berdoa dan siapa tahu Allah kabulkan. Jangan melakukan demikian, seriuslah dalam meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Keempat: Berdoa dengan memuji Allah lalu kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kelima: Memilih waktu-waktu yang mustajab. Di antara waktu mustajab yaitu di sepertiga malam terakhir, ketika sujud dalam shalat, waktu sore di hari Jumat, dan yang lainnya.
Keenam: Jika memungkinkan maka hendaknya memilih tempat-tempat yang doa mudah untuk dikabulkan. Hal ini akan banyak kita temukan ketika di Mekkah, di antaranya seperti tatkala tawaf, di ‘Arafah, di Multazam, di antara Shafa dan Marwa, dan yang lainnya.
Ketujuh: Bertawassul dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya nya.
Inilah di antara adab-adab dalam berdoa yang perlu untuk kita perhatikan, dan di antara yang perlu untuk kita hindari adalah jangan sampai kita berdoa dengan mengucapkan “Insya Allah” atau “Jika Engkau berkehendak”, karena hal itu tidak perlu dan karena tidak ada yang sulit bagi Allah.
Yakin dalam berdoa
Selain hal-hal di atas, yang terpenting untuk kita yakni bahwa doa adalah ibadah. Terkait doa sebagai ibadah maka ada dua hal,
- Jika doa kita tidak dikabulkan, maka sesungguhnya kita telah mendapatkan pahala dengan doa yang kita lakukan karena doa adalah ibadah. Maka tidak ada kerugian yang seseorang akan alami karena banyaknya ber Ketahuilah bahwa manusia yang paling banyak berdoa adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena doa adalah ibadah yang agung, serta menunjukkan bahwa seorang merendah di hadapan Rabbul ‘alamin, dan tentunya Allah suka dengan hal itu.
Kita tahu bahwa ibadah yang kita lakukan adalah bentuk pengakuan bahwa kita ini hamba Allah, dan bentuk penghambaan tersebut sangat tampak dalam doa. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Sesungguhnya doa adalah ibadah.”([16])
Ketika seseorang berdoa maka secara jelas dia menunjukkan kefakirannya sebagai hamba dan menunjukkan ke-Maha Kayaan Allah sebagai Rabb semesta alam, sehingga tampaklah bukti dia sebagai seorang hamba dalam doanya. Oleh karena itu, penulis sering sampaikan pula bahwa syirik yang paling parah adalah syirik dalam berdoa, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah (berdoa) kepada selain Allah.” (QS. Al-Ahqaf: 35)
- Seseorang yang berdoa, hendaknya dia yakin bahwa doanya pasti dikabulkan. Hanya seseorang harus paham bahwasanya doa seorang hamba itu dikabulkan dalam salah satu dari tiga bentuk, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو، لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيعَةِ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا
“Tidaklah seorang muslim yang berdoa, selama tidak mengandung dosa dan bentuk memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan mengabulkannya dengan salah satu dari tiga bentuk: (1) Allah akan segera mengabulkan doanya, (2) Allah akan menyimpannya untuknya di akhirat kelak, dan (3) Allah akan jauhkan darinya keburukan yang semisalnya.”([17])
Ketahuilah bahwasanya Allah lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi kita. Dan lihatlah hadits di atas yang menunjukkan bahwa doa kita pasti dikabulkan. Bahkan jika dikatakan doa kita disimpan untuk di akhirat, maka kita katakan bahwa sesungguhnya kita lebih butuh sesuatu di akhirat daripada di dunia. Oleh karena itu, tidak ada ruginya kita berdoa, sehingga berdoalah sesering dan sebanyak mungkin. Hanya saja yang perlu untuk diperhatikan bahwa jika berdoa maka bersungguh-sungguhlah dalam meminta, perhatikan adab-adabnya, dan juga serius. Dalam berdoa kita tunjukkan kebutuhan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ingatlah bahwa tidak semua apa yang kita minta akan diberikan langsung di dunia oleh Allah, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura’: 27)
Kalau seandainya Allah memberikan seluruh apa yang hamba minta, Allah lapangkan harta kepada apa yang mereka minta, Allah berikan seluruh anugerah kepada mereka, niscaya mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi, mereka akan menzalimi orang lain. Dan ini adalah kenyataan yang kita lihat di atas muka bumi, betapa banyak orang yang diberi jabatan kemudian berbuat zalim, sehingga akhirnya Allah hanya memberikan apa yang Allah kehendaki. Maka jangan ragu-ragu untuk minta dan berdoa kepada Allah, jika pun sekiranya doa kita tidak dikabulkan di dunia maka yakinlah bahwa Allah mengabulkan dalam bentuk yang lain, dan pastinya kita mendapat pahala dari doa yang kita panjatkan.
Matan
Kandungan bab ini:
- Larangan mengucapkan kata “Jika Engkau berkehendak” dalam berdoa
- Penjelasan atas sebab pelarangan tersebut
- Diperintahkan untuk membulatkan tekad dalam berdoa
- Perintah membesarkan harapan dalam berdoa
- Penjelasan alasan perintah membesarkan harapan dalam berdoa
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Bukhari no. 712 dalam Al-Adabul Mufrad, HR. Ibnu Majah no. 3829
([2]) الْعَزْمُ dalam bahasa Arab artinya adalah tekad, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati (tekad).” (QS. Al-Ahqaf: 35)
([3]) HR. Bukhari no. 6339 dan 7477, HR. Musim no. 2679, dengan lafal Bukhari
([4]) HR. Bukhari no. 5662
([5]) HR. Muslim no. 2679
([6]) HR. At-Tirmidzi no. 3373
([7]) HR. Muslim no. 2679
([8]) HR. Muslim no. 2577
([9]) HR. Bukhari no. 7411
([10]) HR. Bukhari no. 7411.
Yaitu sudah ribuan tahun (atau lebih dari pada itu) sejak Allah menciptakan langit dan bumi, Allah telah berinfak, akan tetapi itu semua sama sekali tidaklah mengurangi kekayaan Allah. Jika perkaranya demikian, apalagi permintaan seorang hamba yang sangat kecil dibandingkan dengan pemberian Allah yang semenjak ribuan tahun yang lalu atau lebih.
([11]) HR. Bukhari no. 7447
([12]) HR. Bukhari no. 5662
([13]) HR. At-Tirmidzi no. 3479
([14]) HR. Muslim no. 1794
([15]) HR. At-Tirmidzi no. 3479
([16]) HR. Bukhari no. 714 dalam Al-Adabul Mufrad, HR. Ibnu Majah, Abu Daud, At-Tirmidzi dan yang lainnya
([17]) HR. Bukhari no. 710 dalam Al-Adabul Mufrad