DUDUK DIANTARA 2 SUJUD
Penjelasan
Duduk diantara dua sujud merupakan rukun shalat. ([1]) Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang buruk shalatnya. Nabi berkata kepadanya :
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk (antara dua sujud) disertai thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. ([2])
Gerakan
Tata cara “duduk diantara dua sujud”
Yang dianjurkan ada 2
Pertama: Duduk Iftirasy
Yaitu dengan membentangkan punggung kaki kiri di lantai, dan mendudukinya, kemudian kaki kanan ditegakkan dan jari-jarinya menghadap kiblat.([3]) Sebagaimana ditunjukan oleh keumuman hadits-hadits berikut yang menjelaskan tentang sifat duduk Nabi dalam sholat :
Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu mengatakan:
من سُنَّةِ الصلاةِ، أنْ تنصِبَ القدمَ اليمنَى، واستقبالُهُ بأصابعِها القبلةَ، والجلوسُ على اليسرَى
“Di antara sunah ketika shalat adalah menegakkan kaki kanan lalu menghadapkan jari-jari ke arah kiblat dan duduk di atas kaki kiri.” ([4])
Maimunah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ – يَعْنِي جَنَّحَ – حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيْهِ مِنْ وَرَائِهِ. وَإِذَا قَعَدَ اطْمَأَنَّ عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sujud membentangkan kedua tangannya hingga terlihat putih ketiaknya dari arah belakang beliau, dan jika duduk maka beliau duduk dengan paha kirinya. ([5])
Juga berdasarkan keumuman hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika meriwayatkan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah berkata
وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى، وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membentangkan kaki kirinya mengangkat kaki kanannya dan melarang ‘uqbatus syaithan’ ([6]). ([7])
Hadits-hadits diatas menunjukan bahwa jika Nabi duduk dalam shalat maka beliau duduknya dengan iftirosy, kecuali duduk pada tasyahhud yang kedua, maka telah datang dalil yang mengkhususkan dan menunjukan bahwa beliau duduknya dengan cara tawarruk.
Kedua: Duduk الإِقْعَاء (Iq’aa’)
Selain duduk iftirosy, ada juga duduk yang disunahkan untuk terkadang dilakukan, yaitu duduk iq’aa’([8]). Namun perlu diketahui bahwa yang disebut dengan duduk iq’aa’ itu ada dua, yang satu disunnahkan dan yang lainnya dilarang. Yang disunnahkan maka tata cara duduknya -sebagaimana dijelaskan oleh para ulama-([9]) adalah dengan menegakkan kedua kaki lalu duduk dengan meletakan panta di atas kedua tumit, sementara jari-jari kaki menghadap ke kiblat.
Hal ini berdasarkan riwayat Abu Az-Zubair, bahwasanya dia pernah mendengar Thawuus bertanya kepada Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- tentang duduk iq’aa’:
فَقَالَ: «هِيَ السُّنَّةُ»، فَقُلْنَا لَهُ: إِنَّا لَنَرَاهُ جَفَاءً بِالرَّجُلِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «بَلْ هِيَ سُنَّةُ نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Maka Ibnu Ábbas berkata, “Itu adalah sunah”. Thawus berkata: Kami (selama ini) menganggap itu adalah sikap (duduk) yang tidak pantas.”, maka Ibnu Ábbas berkata, “Justru itu adalah sunah Nabimu –shallallahu ’alaihi wa sallam–.” ([10])
Demikian juga riwayat dari Ibnu Úmar radhiallahu ánhuma :
أنَّه كان إذا رفَعَ رأسَه مِن السَّجدةِ الأولى يقعُدُ على أطرافِ أصابعِه، ويقولُ: إنَّه مِن السنَّةِ
“Bahwasanya beliau jika bangkit dari sujud yang pertama, beliau duduk di atas ujung jari-jari kaki beliau. Dan beliau berkata, “Ini termasuk sunah.” ([11])
Adapun duduk iq’aa’ yang terlarang (yang juga disebut dengan عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ) maka para ulama berselisih pendapat perihal tata caranya, namun yang disepakati akan terlarangnya adalah :
أَنْ يُلْصِقَ أَلْيَتَيْهِ بِالْأَرْضِ وَيَنْصِبَ سَاقَيْهِ وَيَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ
“Ia menempelkan pantatnya ke tanah, menegakkan kedua betisnya, dan meletakan kedua tangannya di tanah seperti duduknya anjing” ([12])
Bentuk iq’aa’ lain yang disebutkan oleh ulama adalah ;
جُلُوْسُ الإِنْسَانِ عَلَى إِلْيَتَيْهِ نَاصِبًا فَخِذَيْهِ
“Duduknya seseorang di atas pantatnya dengan menegakan kedua pahanya” (yaitu tanpa menyebutkan kondisi kedua tangan sebagaimana pada bentuk sebelumnya). ([13])
Bentuk iqáa (yang terlarang) yang lain yang disebutkan oleh ulama diantaranya :
بِأَنْ يَفْرِشَ قَدَمَيْهِ وَيَجْلِسَ بِأَلْيَتَيْهِ عَلَى عَقِبَيْهِ
“Ia menghamparkan kedua kakinya (yaitu jari-jari kaki menghadap ke belakang karena kedua kaki tidak ditegakkan dan jari jemari kaki tidak diarahkan ke arah kiblat) lalu menumpukan pantatnya di atas tumitnya.” ([14])
Bentuk iqáa yang lain adalah :
أَنْ يَفْرِشَ قَدَمَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهِ وَيَسَارِهِ أَوْ يَنْصِبَهُمَا وَأَنْ يَجْلِسَ عَلَى أَلْيَتِهِ بَيْنَ قَدَمَيْهِ
“Ia membentangkan kedua kakinya di sebelah kanan dan kirinya, atau ia menegakan kedua kakinya, akan tetapi ia duduk di pantatnya (di tanah) di antara kedua kakinya” ([15])
Dan ini adalah duduk iq’a yang dilarang, berdasarkan hadits Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-, ia berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ أَمَرَنِي بِرَكْعَتَيْ الضُّحَى كُلَّ يَوْمٍ وَالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَنَهَانِي عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara. Beliau memerintahkan aku untuk melakukan shalat duha dua rakaat setiap hari, shalat witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari pada setiap bulan. Sementara Beliau melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan (tidak thuma’ninah ketika shalat), duduk iq’a seperti duduk iq’a anjing, dan menoleh sebagaimana musang menoleh.” ([16])
Cara-cara duduk yang kurang tepat lainnya :
Posisi Kedua Tangan saat duduk diantara dua sujud
Tidak datang dalil khusus yang menjelaskan posisi kedua tangan tatkala duduk diantara dua sujud. Yang datang adalah dalil tentang kondisi tangan ketika duduk tasyahud. Maka para ulama mengqiaskan kondisi tangan ketika duduk diantara dua sujud dengan kondisi kedua tangan tatkala duduk tasyahud([17]). Yaitu letak tangan kanan berada di atas paha atau lutut kanan, sedangkan letak tangan kiri di atas paha atau lutut kiri, dengan posisi telapak tangan membentang, juga posisi siku sejajar dengan paha dan diletakkan di atas paha. Semua ini berlandaskan hadits-hadits berikut ini:
Hadits Abdullah bin Umar –radhiallahu’anhuma–, ia berkata:
كان إذا جلَس في الصلاةِ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى. وقبَض أصابعَه كلَّها. وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ. ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى
“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk (tasyahud), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat (menunjuk) dengan jari yang ada di sebelah jari jempol (jari telunjuk). Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” ([18])
Dan juga hadits Waa’il bin Hujr –radhiallahu ’anhu–, ia berkata:
ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ
“… kemudian beliau duduk dengan membentangkan kaki kirinya, meletakkan tangan kiri di atas paha dan lutut kirinya, memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam dua jarinya (jari kelingking dan jari manis), membentuk lingkaran (dengan jari jempol dan jari tengah), kemudian berisyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya.” ([19])
Bacaan Duduk Diantara Dua Sujud
Pertama
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي
“Ya Allah ampuni aku, Ya Allah ampuni aku”. ([20])
Kedua
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْزُقْنِي، وَارْفَعْنِي
“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, berilah rezeki dan tinggikanlah derajatku”. ([21])
Ketiga
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي
“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, berilah aku petunjuk, dan berilah rezeki”. ([22])
Keempat
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي
“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku”. ([23])
Kelima
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي
“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, berikanlah aku petunjuk, selamatkanlah aku, dan berilah rezeki”. ([24])
Bacaan doa-doa ini hukumnya adalah sunnah dan tidak diwajibkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkannya kepada orang yang buruk shalatnya. Dan kadiah menyatakan tidak diperbolehkan mengakhirkan penjelasan tentang sesuatu disaat membutuhkan akan penjelasan tersebut. Seandainya bacaan doa tersebut diwajibkan, maka tentu Nabi akan mengajarkannya kepada orang yang salah shalatnya tersebut. ([25])
FOOTNOTE:
([1]) Menurut Jumhur Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Hanafiyyah. (lihat: Hasyiyah As-Shawi ‘ala As-Syarh As-Shaghir 1/314, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/437, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/375, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/464, At-Taaju Wal Iklil Li Mukhtashar Khalil 1/524). Ibnu Abdil Barr mengatakan: Duduk diantara dua sujud adalah fardhu, tidak ada perselisihan di dalamnya. (lihat: At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr10/190). Al-Qarafi juga mengatakan: Duduk antara dua sujud, asal diwajibkannya merupakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan disepakati oleh jumhur ulama’ (Adz-Dzakhiirah Li Al-Qarafi 2/198)
([2]) HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397.
([3]) Lihat Minhatul Khaliq Li Ibni Abidin 2/24 Syarhu Ma’ani Al-Atsar 1/261, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/450, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/376, 387 dan Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/392
([4]) HR. An Nasa’i no. 1158, disahihkan Al–Albani
([6]) yaitu duduk iq’a yang dilarang, sebagaimana akan datang penjelasannya. (lihat: Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim 4/212)
([8]) Para ulama berselisih tentang hukum duduk iq’aa’ ketika duduk di antara dua sujud menjadi dua pendapat :
Pertama : Hukumnya disunahkan sesekali, karena riwayat yang terbanyak adalah duduk iftirosy. Ini adalah pendapat sebagian Salaf (seperti Ibn ‘Abbas, Ibn Umar, Ibn Az-Zubair, Naafi’, Thaawus, dan Mujahid), Asy-Syafii (lihat al-Majmuu’, An-Nawawi 3/439), salah satu riwayat dari Ahmad (lihat al-Inshoof 2/67), al-Baihaqi (sebagamana dinukil oleh An-Nawawi dalam al-Majmuu’ 3/438), al-Qodhi ‘Iyaadh (lihat Ikmaal al-Mu’lim 2/459), Ibn As-Shalaah (sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dalam al-Majmuu’ 3/439), dan dipilih oleh An-Nawawi. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibn Baaz, Al-Albani, dan para ulama yang tergabung dalam Komite Fatwa Arab Saudi, sebagaimana ia juga diriwayatkan dari imam Ahmad. Namun dalam riwayat lain beliau menyatakan bahwa beliau tidak akan melakukannya namun tidak juga mencelanya” (Lihat Al–Mughni 1/376)
Kedua : Hukumnya adalah makruh, dan ini pendapat yang dipilih oleh al-Khaththaabi, bahkan beliau berpendapat bahwa hadits Ibn Ábbas tentang sunahnya iq’aa’ telah mansuukh (lihat Maáalim As-Sunan 1/209)
Namun yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena tidak ada dalil yang menunjukan tentang mansuukh-nya iq’aa’. (Lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 3/439)
An-Nawawi mengatakan: Menggabungkan dua hadits Ibnu Umar dan Ibnu Abbas kemudian hadits Abu Humaid dan Wa’il dan yang lain di dalam sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjelaskan duduk iftirasy di atas kaki kirinya menunjukkan bahwa beliau melakukan tidak hanya satu gerakan saja. Dalam suatu keadaan beliau melakukan gerakan ini, dan pada suatu keadaan lain beliau melakukan gerakan itu. Sebagaimana beliau membaca surat dalam shalat, terkadang panjang dan terkadang pendek. Atau sebagaimana beliau berwudhu, terkadang sekali basuhan atau dua kali atau tiga kali. Atau sebagaimana beliau thawaf terkadang berjalan dan terkadang menaiki kendaraan. Atau sebagaimana beliau mendirikan shalat witir terkadang di sepertiga malam yang pertama dan terkadang di pertengahan malam dan terkadang di sepertiga malam yang terakhir. Dan kebiasaan beliau yang lain dan beragam. Dan beliau melakukan hal itu karena beberapa tujuan: untuk menjelaskan rukhsah (keringanan) atau bolehnya melakukan perkara tersebut, dengan melakukan sekali atau beberapa kali, kemudian menganjurkan yang lebih utama diantara keduanya. Dan kesimpulannya adalah bahwa duduk iq’a yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan duduk ifitrasy yang diriwayatkan oleh Abu Humaid keduanya sama-sama disunnahkan. Namun, salah satu dari keduanya lebih masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Humaid, karena dia meriwayatkannya dan dibenarkan oleh sepuluh orang sahabat dan yang diriwayatkan oleh Wa’il bin Hujr. Ini menunjukkan anjuran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang lebih diutamakan, meskipun duduk iq’a pun juga disunnahkan. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/439)
([9]) Lihat Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/524, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/439 dan Fathul Qadir Li Al-Kamal bin Al-Humam 1/410
([11]) HR. At-Thabaraani dalam al-Mu’jam al-Awsath no 8752 dan al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro no 2843, dan disahihkan oleh al-Baihaqi, adz-Dzahabi, Ibn Hajar dalam at-Talkhiish al-Habiir (1/420), dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Ashl Shifat as-Shalaah 2/803
([12]) Al-Minhaaj Syarh Sahih Muslim 5/19 dan Fathul Baari 1/175, dan ini adalah yang dijelaskan oleh Abu Úbaidah Ma’mar bin al-Mutsanna dan Abu Úbaid al-Qaasim bin Sallaam. (Lihat al-Minhaaj 5/19 dan al-Istidzkaar 1/481)
([13]) Lihat Syarh Sunan Ibni Maajah, Al-Mughlathaay.
([14]) Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Daqiiq al-Íed dalam Ihkaam al-Ahkaam (1/236). Duduk ini mirip dengan duduk iq’aa’ yang disyariátkan, hanya saja pada tata cara iq’aa’ yang disunahkan kedua kaki ditegakkan sehingga jari-jari menghadap kiblat, sedangkan pada duduk iq’aa’ yang terlarang kedua kaki tidak ditegakkan, akan tetapi dihamparkan sehingga jari-jari kaki tidak menghadap kiblat dan menghadap ke ke belakang.
([15]) Shifat Shalaat An-Nabiy, Abdul Aziiz at-Thuraifi hal 134
([16]) HR. Ahmad no. 8106, dihasankan oleh Al-Haitsamy di Al-Majma’ 2/80
([17]) Lihat: Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/354.
([18]) HR. Muslim 1/408 no. 580
([19]) HR. An-Nasai 2/126 no. 889, disahihkan Al Albani dalam Sahih An Nasai
([20]) H.R. Ibnu Majah no.897, Abu Dawud no.874 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([21]) HR. Ibnu Majah No. 898, dihasankan oleh Al Arnauth
([22]) HR. At Tirmidzi No. 284, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Tirmidzi
([23]) HR Ahmad dalam sunannya 5/460 No. 3514
([24]) Misykatul Mashobih No. 900
Kandungannya:
Dalam doa-doa ini terkandung apa saja yang hamba butuhkan untuk kebaikan dunia maupun akhiratnya, maka selayaknya ketika kita mengucapkannya kita mengetahui makna-mana doa tersebut agar lebih bersungguh-sungguh ketika meminta.
Makna-makna yang terkandung dalam doa di atas adalah:
Pertama: “Ya Allah ampunilah aku” yaitu ampunilah dosa-dosaku atau ampunilah kelalaianku dalam ketaatan. Dalam doa ini seorang hamba meminta agar terhindar dari siksaan di dunia maupun di akhirat yang disebabkan dosa-dosanya atau karena kelalaiannya dalam menjalankan ketaatan.
Kedua: “Rahmatilah aku” yaitu rahmat atau kasih sayang yang berasal dari sisi-Mu bukan karena amalanku. Ini adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan di dunia dan di akhirat. Di dunia meminta dengan kasih sayang-Nya agar senantiasa termasuk dalam hamba-hamba-Nya yang beriman nan shalih, di akhirat memohon dengan kasih sayang-Nya agar di masukkan ke dalam surga-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya.
Ketiga: “Berikanlah aku hidayah atau petunjuk” untuk melakukan amalan yang shalih atau tetapkanlah aku di atas agama yang benar. Ini adalah untuk kemaslahatan akhiratnya, karena setiap orang yang di dunia ini Allah beri hidayah taufik agar tetap berada di atas jalan benar serta diberi hidayah untuk bisa melakukan amalan-amalan shalih, maka itu adalah sebab keselamatan di akhirat kelak. Dari sini kita tahu bahwa kita sangat butuh meminta kepada Allah hidayah, karenanya kita diwajibkan dalam shalat untuk membaca Al-Fatihah, yang di dalamnya terkandung permintaan hidayah kepada Allah.
Keempat: “Selamatkanlah aku” dari berbagai bahaya di dunia dan akhirat atau dari penyakit yang lahir maupun batin. Karena meminta keselamatan bukan hanya ketika kita hidup di dunia saja, bahkan juga kita harus meminta keselamatan setelah mati bukankah ketika ada saudara kita yang telah meninggal kita doakan baginya “allahummaghfir lahu, warhamhu, wa ‘aafihi….”.
Kelima: “Berikanlah aku rezeki” yaitu berupa rezeki yang baik, rezeki berupa taufik dalam menjalani ketaatan, atau rezeki berupa derajat yang tinggi di akhirat. Dari sini kita tahu bahwa rezeki tidak harus bersifat materi, karena semua yang Allah berikan adalah rezeki. Dan juga rezeki hakikatnya berasal dari Allah, maka hendaknya kita meminta kepada Allah bukan kepada yang lain, Allah Ta’āla berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 17)
Keenam: “Tinggikanlah derajatku” yaitu di dunia dan di akhirat.
Ketujuh: “Cukupkanlah aku” diambil dari “جَبَرَ اللَّهُ مُصِيبَتَهُ” Allah mengganti musibahnya yaitu dengan mengembalikan apa yang telah hilang darinya atau menggantinya.
(Lihat: Mirqotul Mafatih Syarhu Misykatil Mashobih 2/726)