20. وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ يَٰقَوْمِ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنۢبِيَآءَ وَجَعَلَكُم مُّلُوكًا وَءَاتَىٰكُم مَّا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ
wa iż qāla mụsā liqaumihī yā qaumiżkurụ ni’matallāhi ‘alaikum iż ja’ala fīkum ambiyā`a wa ja’alakum mulụkaw wa ātākum mā lam yu`ti aḥadam minal-‘ālamīn
20. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”.
Tafsir :
Allah ﷻ berfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ . يَاقَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ . قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ . قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ . قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ . قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِين.
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang yang merdeka, dan memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain. Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.’ Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.’ Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, ‘Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu benar-benar orang-orang beriman.’ Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.’ Dia (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku, sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.’ (Allah) berfirman, ‘(Jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.’” (QS Al-Maidah: 20-26)
Kisah Nabi Musa ‘alaihissalam
Ayat-ayat di atas berkaitan dengan kisah Nabi Musa ‘alaihissalam.
Nabi Musa ‘alaihissalam bersama para pengikutnya lari dari kejaran Firaun. Mereka akhirnya selamat pada saat tanggal 10 Muharram, yang ketika itu Firaun dan bala tentaranya justru ditenggelamkan oleh Allah ﷻ di laut Merah. Setelah itu, Nabi Musa dan kaumnya pergi menuju arah Palestina, kampung asal mereka.
Asal-usul Yahudi Bani Israil dari negeri Palestina. Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam yang berasal dari negeri itu. Salah seorang putra Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yaitu Nabi Yusuf ‘alaihissalam, kemudian tinggal dan menjadi menteri di Mesir, lantas beliau membawa keluarga besarnya dari Palestina ke Mesir.
Mereka tetap hidup dan menetap di Mesir hingga Nabi Yusuf ‘alaihissalam wafat. Seiring berjalannya waktu para penguasa negeri itu pun silih berganti. Sampai akhirnya negeri tersebut dipimpin oleh Firaun sementara Bani Israil justru diperbudak olehnya. Beratus-ratus tahun kemudian Allah ﷻ mengutus Nabi Musa ‘alaihissalam dari kalangan Bani Israil.
Setelah Bani Israil diselamatkan dari Firaun, maka mereka hendak kembali menuju kampung halamannya, ke Palestina. Allah ﷻ lalu memerintahkan mereka untuk berjihad untuk membebaskan dan menaklukkan Palestina.([1])
Allah ﷻ berfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang yang merdeka, dan memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain.’” (QS Al-Maidah: 20)
Nabi Musa ‘alaihissalam adalah seorang yang sangat perkasa, tetapi juga sangat lembut dan pemaaf bagi kaumnya. Beliau merasakan penderitaan kaumnya selama di Mesir dan beliau ‘alaihissalam benar-benar sayang kepada mereka.
Firman Allah ﷻ,
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Ingatlah nikmat Allah kepadamu.’”
Nabi Musa ‘alaihissalam memerintahkan mereka untuk mengingat nikmat Allah ﷻ. Kenapa demikian? Karena mereka hendak diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk berjihad.
Jika seseorang sadar dengan nikmat yang banyak dari Allah ﷻ kepadanya, maka seharusnya dia semakin taat kepada-Nya. Tidak sama antara orang yang diberikan nikmat sedikit dengan nikmat yang banyak. Nikmat yang banyak mewajibkan seseorang untuk lebih banyak bersyukur.
Setiap orang hendaklah menyadari kondisi dirinya. Jika ia telah diberikan begitu banyak kenikmatan: kesehatan, harta, ketenteraman dan-lain-lain, maka seharusnya dia lebih bersyukur dibandingkan orang-orang yang kondisinya sedang kesusahan dan tidak sebaik dirinya. Ayat di atas termasuk dalil bahwa nikmat atau karunia itu mewajibkan syukur, karena setiap nikmat itu ada tanggung jawabnya.
Oleh karena itu, Nabi Musa ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya tentang nikmat-nikmat, karena mereka hendak diperintahkan untuk berjihad.([2]) Di antara nikmat yang telah diberikan kepada mereka adalah:
Firman Allah ﷻ,
إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
“Ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang yang merdeka, dan memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain.”
إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ
“Ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu”, ini merupakan nikmat agama yang telah diberikan kepada mereka. Banyak nabi yang diutus kepada Bani Israil. Setiap ada nabi yang wafat, maka akan digantikan dengan nabi yang lain. Bahkan, dalam satu masa, bisa terdapat lebih dari satu nabi, seperti Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi Harun ‘alaihissalam, atau Nabi Yahya ‘alaihissalam dengan Nabi Zakariya ‘alaihissalam serta Nabi Ísa álaihis salam. Ini merupakan keistimewaan luar biasa yang tidak terjadi pada kaum selain mereka.
وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا
“dan menjadikan kamu sebagai orang yang merdeka”, ini merupakan nikmat dunia yang diberikan kepada mereka. Terdapat khilaf di antara para ulama terkait tafsiran klausa tersebut. Penafsiran pertama: جَعَلَكُمْ, dengan menggunakan fi’l madhi, kata kerja untuk masa lampau (past tense), artinya Allah ﷻ telah menjadikan kalian raja-raja.([3]) Penafsiran kedua: جَعَلَكُمْ, meskipun fi’l madhi, tetapi memiliki makna fi’l mudhari’, kata kerja untuk masa sekarang dan masa depan, karena saking pastinya perkara tersebut terjadi. Artinya, suatu saat mereka akan menjadi raja-raja.([4])
Dalam banyak ayat, Allah ﷻ menyebutkan tentang masa depan dengan menggunakan fi’l madhi. Faktanya memang sebagaimana disebutkan oleh pendapat kedua, bahwa dari kalangan mereka kelak akan tedapat raja-raja, mulai dari raja Thalut, lalu Nabi Dawud ‘alaihissalam, kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Inilah di antara raja-raja Bani Israil pada masa setelah Nabi Musa ‘alaihissalam.
Namun, konteks ayat ini Nabi Musa ‘alaihissalam mengingatkan Bani Israil tentang nikmat-nikmat yang telah mereka dapatkan. Dengan demikian tentu saja nikmat yang dimaksud itu adanya di masa lalu. Di sinilah para ulama berbeda pendapat, karena dahulu mereka belum menjadi raja, lantas apa yang dimaksud dengan raja pada ayat tersebut?
Terdapat khilaf di antara para ulama tentang makna raja yang dimaksud. Pendapat pertama: raja yang dimaksud adalah merdeka dan bebas dari perbudakan. Sebelumnya mereka telah diperbudak oleh suku Aqbath atau suku Firaun. Setelah itu Allah ﷻ menenggelamkan Firaun, maka mereka menjadi merdeka.([5])
Pendapat kedua: raja yang dimaksud adalah mereka yang memiliki tempat tinggal, keluarga, anak, pembantu dan lain-lain.([6]) Setiap orang yang sudah memiliki rumah, keluarga dan harta, maka sejatinya dia telah menjadi raja, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Siapa di antara kalian yang di waktu pagi merasa aman di rumahnya, sehat badannya dan punya makanan pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia telah terkumpul untuknya.”([7])
Pendapat ketiga: raja yang dimaksud adalah bahwa mereka diberikan kenikmatan seperti kenikmatan raja-raja, seperti diberikan makanan berupa manna dan salwa (makanan yang turun langsung dari langit), batu yang dipukul Nabi Musa ‘alaihissalam hingga mengeluarkan air, atau awan yang menaungi mereka, seolah-olah ini adalah kenikmatan raja-raja. Bahkan para raja pada saat itu pun tidak ada yang mendapat nikmat demikian.([8])
Di antara nikmat dunia yang Allah ﷻ berikan kepada mereka adalah sebagaimana ditegaskan oleh firman-Nya,
مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
“Dan Dia memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain.”
Artinya, mereka merupakan suku/bangsa yang sangat spesial dan terbaik pada zaman itu. Allah ﷻ memberi mereka banyak keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat yang lain, seperti manna dan salwa, diturunkannya para nabi kepada mereka, terbelahnya laut untuk mereka, batu yang mengeluarkan air ketika dipukul oleh Nabi Musa ‘alaihissalam, awan yang menaungi mereka, serta mukjizat-mukjizat para nabi yang ada di antara mereka dan keistimewaan-keistimewaan lainnya yang tidak diberikan kepada suku-suku dan bangsa-bangsa yang lain ketika itu.([9])
Allah ﷻ berfirman,
يَاقَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.” (QS Al-Maidah: 21)
Setelah Nabi Musa ‘alaihissalam menyebutkan nikmat-nikmat yang Allah ﷻ berikan kepada Bani Israil, terutama ketika Allah ﷻ menjadikan mereka sebagai bangsa yang spesial dibandingkan bangsa-bangsa lain, agar mereka bersyukur, maka saatnya mereka diberikan tugas dari Allah ﷻ.
Allah ﷻ menyuruh Nabi Musa ‘alaihissalam agar memerintahkan Bani Israil berjihad, sebagaimana firman-Nya,
يَاقَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ
“Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina).”
Palestina/Baitul Maqdis disebut dengan negeri yang suci. Di situlah diturunkan banyak para nabi, sehingga tempat itu menjadi berkah dan disucikan oleh Allah ﷻ.([10])
الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Yang (tempat itu) telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.”
Nabi Musa ‘alaihissalam memerintahkan mereka untuk masuk ke Palestina dengan berjihad, sebagaimana beliau juga mengingatkan bahwa mereka pasti menang dalam peperangan tersebut.
Allah ﷻ berfirman,
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ
“Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.’” (QS Al-Maidah: 22)
Kata جَبَّار memiliki dua makna. Makna pertama adalah عِظَامُ الْأَجْسَامِ طِوَالٌ “berbadan besar dan tinggi”, hingga sebagian ahli tafsir mengatakan tinggi mereka mencapai 6-9 hasta. Makna kedua adalah الْمُتَعَظِّمُ “yang zalim, kasar dan bengis”.([11])
Ketika orang-orang Bani Israil melihat musuh mereka ternyata adalah orang-orang yang berbadan tinggi dan besar maka mereka pun menjadi takut, sehingga Allah ﷻ mengabadikan perkataan mereka sebagaimana dalam ayat di atas.
Bani Israil menolak perintah dan memilih menunggu agar lawan mereka keluar dengan sendirinya. Mereka takut dan tanpa malu-malu berkata,
وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ
“Sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.”
Perkataan mereka ini tentu saja bukanlah jihad. Pernyataan mereka sama dengan kedustaan, karena orang-orang yang berada di dalam negeri tersebut tidak akan keluar, lantaran negeri itu telah menjadi tempat tinggal mereka. Jadi, mereka tidak mau mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam.
Setelah itu ada dua saleh orang yang datang menasihati mereka. Keduanya adalah Yusya’ bin Nun([12]) dan Kalib bin Yufanna([13]). Allah ﷻ menyebut keduanya di dalam firman-Nya,
Allah ﷻ berfirman,
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, ‘Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu benar-benar orang-orang beriman.’” (QS Al-Maidah: 23)
يَخَافُونَ “takut”, artinya kedua adalah dua orang saleh yang takut kepada Allah ﷻ. Ada juga yang menafsirkan bahwa keduanya pun merasa takut sebagaimana Bani Israil yang merasa ketakutan, tetapi ketakutan tersebut tetap membuat keduanya mengatakan kebenaran. Namun, penafsiran pertama yang lebih benar.
Allah ﷻ menyebutkan sifat mulia dari dua orang saleh tersebut, yaitu mereka takut kepada Allah ﷻ dan memberikan nikmat kepada keduanya dengan ketakwaan kesabaran, keteguhan dan keyakinan.([14])
Firman Allah ﷻ,
ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu benar-benar orang-orang beriman.”
Inilah nasihat luar biasa dari dua orang saleh berdasarkan keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Allah ﷻ mengingatkan kepada mereka apabila mereka benar-benar beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, sedangkan beliau memerintahkan agar mereka memasuki negeri tersebut dengan berbekal tawakal, maka dengan menuruti perintah tersebut mereka akan meraih kemenangan atas kehendak Allah ﷻ.
Allah ﷻ berfirman,
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.’” (QS Al-Maidah: 24)
Ayat ini menjelaskan bahwa selama mereka telah membuat keputusan, maka mereka akan tetap kukuh pada keputusan itu selama-lamanya. Mereka berkata dengan menggunakan lafal لَنْ “tidak akan”, lalu ditambah lafal أَبَدًا “selama-lamanya”.
Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengejek Nabi Musa ‘alaihissalam dengan berkata,
فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.”
Ini menunjukkan betapa buruknya perbuatan Bani Israil tersebut.([15])
Sedangkan Nabi Musa ‘alaihissalam dengan kelembutan mengatakan, يَاقَوْمِ “Wahai kaumku” namun mereka tidak membalas panggilan beliau dengan panggilan yang lembut, “Wahai Nabi Allah” atau “Wahai Rasulullah”. Mereka memanggil beliau dengan menyebutkan nama saja tanpa kesantunan: “Wahai Musa” kemudian mereka melanjutkan dengan kurang ajarnya: “Wahai Musa, kami tidak akan masuk. Pergilah dirimu dengan Rabb-mu.” Betapa kasar ucapan sekaligus ejekan mereka kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.
Hal ini sangat kontras dengan para Sahabat saat diajak berperang bersama Rasulullah ﷺ. Ketika perang Badar, Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu, dari kalangan Anshar, berdiri dan berkata,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَمَرْتَنَا أَنْ نُخِيضَهَا الْبَحْرَ لَأَخَضْنَاهَا، وَلَوْ أَمَرْتَنَا أَنْ نَضْرِبَ أَكْبَادَهَا إِلَى بَرْكِ الْغِمَادِ لَفَعَلْنَا
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya engkau perintahkan kami mengarungi lautan, maka pasti akan kami arungi, dan seandainya engkau menyuruh kami pergi ke ujung bumi, maka pasti kami akan pergi.”([16])
Di samping itu, Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu juga berkata kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا لَا نَقُولُ لَكَ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى: {اذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ} ، وَلَكِنْ اذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا، إِنَّا مَعَكُمْ مُقَاتِلُونَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.’ Akan tetapi, (kami mengatakan) pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, dan kami pun akan ikut berperang bersama kalian.”[17]
Inilah perbedaan besar antara para Sahabat kepada Nabi Muhammad ﷺ dan Bani Israil kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Ketika kaumnya mengucapkan kata-kata yang pedas, mengejek dan merendahkan, maka Nabi Musa ‘alaihissalam pun pasrah.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa sejatinya Nabi Musa ‘alaihissalam merupakan sosok nabi yang sangat sabar dan penyayang kepada umatnya. Jangankan kepada umatnya, bahkan beliau juga sayang kepada umat Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini sebagaimana ketika Nabi Muhammad ﷺ turun dari langit kemudian mengabarkan bahwa beliau ﷺ mendapatkan perintah untuk mengerjakan shalat sebanyak 50 waktu, lalu beliau bertemu dengan Nabi Musa ‘alaihissalam, maka Nabi Musa ‘alaihissalam pun memberi saran agar beliau meminta keringanan untuk umatnya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلَاةً، فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ، حَتَّى آتِيَ عَلَى مُوسَى، فَقَالَ مُوسَى: مَاذَا افْتَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: فَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ، فَرَاجَعْتُ رَبِّي، فَوَضَعَ عَنِّي شَطْرَهَا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ فَرَاجَعْتُ رَبِّي، فَقَالَ: هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ، لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَقُلْتُ: قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي.
“Allah telah memerintahkan umatku salat lima puluh kali, kemudian aku kembali dengan perintah itu, hingga aku bertemu dengan Musa. Musa bertanya, ‘Apa yang Allah perintahkan padamu?’ Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan untuk melaksanakan lima puluh kali salat sehari semalam.’ Musa berkata, ‘Kembalilah kepada Tuhanmu, sungguh umatmu tidak akan mampu (menunaikan) hal itu.’ Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku, lalu Dia mengurangi separuhnya dariku. Kemudian aku kembali kepada Musa dan mengabarkan hal itu. Dia lantas berkata, ‘Kembalilah menghadap Rabb-mu. Sunggguh, umatmu tidak akan mampu menunaikannya.’ Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku, sampa akhirnya Allah berfirman, ‘Ia adalah lima dan ia adalah lima puluh. Ucapan (ketetapan) dari-Ku tidak dapat diganti lagi.’ Kemudian aku kembali kepada Musa, lalu berkata, ‘Kembalilah menghadap Rabb-mu.’ Aku lantas menjawab, ’Aku malu kepada Rabbku (karena telah meminta keringanan berulang kali).’”([18])
Ketika Bani Israil mengucapkan perkataan kasar dan menyakitkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, maka beliau mengeluh kepada Allah ﷻ, dan hanya kepada Allah ﷻ semata beliau mengeluh.
Allah ﷻ berfirman,
قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Dia (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku, sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS Al-Maidah: 25)
Nabi Musa ‘alaihissalam mengeluh kepada Allah ﷻ bahwa beliau tidak mampu mengatur, kecuali dirinya dan saudaranya saja, yaitu Nabi Harun ‘alaihissalam.
Sebagian ahli tafsir yang mengatakan bahwa frasa وَأَخِي “dan saudaraku” maksudnya adalah وَأَخِي أَيْضًا لَا يَمْلِكُ إِلَّا نَفْسَهُ “dan saudaraku juga tidak mampu mengatur kecuali kepada dirinya sendiri”. Setelah mengeluhkan semuanya kepada Allah ﷻ, kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam memanjatkan doa,
فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”
Maka Allah ﷻ pun mengabulkan permintaan Nabi Musa ‘alaihissalam.
Allah ﷻ berfirman,
قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“(Allah) berfirman, ‘(Jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.’” (QS Al-Maidah: 26)
Para ulama mengatakan bahwa Allah ﷻ berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, فَلَا تَأْسَ “janganlah engkau bersedih hati”, karena sejatinya Nabi Musa ‘alaihissalam dikenal sangat sayang kepada umatnya.([19])
Lihatlah, bagaimana kaum Nabi Musa ‘alaihissalam membangkang. Jika kita membaca surah Al-Baqarah tentang pembangkangan Bani Israil kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, maka kita tidak didapati bahwa beliau memukul kaumnya. Selain itu, beliau juga pernah dituduh dengan tuduhan yang tidak pantas dan berbagai ejekan lainnya. Namun, Nabi Musa ‘alaihissalam tidak marah atau memukul mereka.
Karena Allah ﷻ mengetahui bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam sangat sayang kepada kaumnya, maka Allah ﷻ menghiburnya agar tidak sedih atas keputusan yang Allah ﷻ berikan kepada mereka.
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa penduduk Palestina dimaksud adalah para raksasa, orang-orang yang berbadan besar. Demikian penyebab Bani Israil tidak berani masuk.
Bahkan konon dikisahkan bahwa di antara penduduk Palestina itu ada yang bernama ‘Uj bin ‘Unuq, yang tingginya 3.333 hasta lebih atau sekitar 2 kilometer. Jika penduduk Palestina memang sangat besar semacam itu maka wajar apabila Bani Israil menjadi takut. Akhirnya, yang melawan ‘Uj bin ‘Unuq, jagoan mereka, adalah Nabi Musa ‘alaihissalam. Tinggi Nabi Musa ‘alaihissalam bahkan tidak mencapai mata kakinya. Namun, beliau memiliki tongkat yang panjang (dalam riwayat disebut mencapai 10 hasta) dan beliau juga mampu meloncat tinggi (dalam riwayat disebut juga mencapai 10 hasta). Selanjutnya Nabi Musa ‘alaihissalam meloncat dan memukulkan tongkatnya hingga mengenai mata kaki ‘Uj dan ia pun tewas karenanya.
Menurut Ibnu Katsir, kisah di atas itu sekadar khurafat belaka, dongeng israiliyyat yang dibuat-buat dan sama sekali tidak valid.([20])
Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan tentang kisah tersebut,
مِنْ وَضْعِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
“(Ini) termasuk kisah palsu karangan Bani Israil.”([21])
Ibnul-Qayyim rahimahullah juga berkata,
أَنَّ هَذَا وَأَمْثَالَهُ مِنْ وَضْعِ زَنَادِقَةِ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya kisah ini dan yang semisalnya termasuk kisah palsu buatan orang-orang zindik Ahli Kitab.”([22])
Jadi, semua itu merupakan khurafat yang bersumber dari riwayat palsu Bani Israil, untuk menjustifikasi ketakutan mereka. Sehingga orang-orang akan berpikir bahwa wajar apabila Bani Israil takut melawan orang-orang seperti raksasa. Ibnu Katsir rahimahullah juga menegaskan bahwa yang demikian ini merupakan perkara yang tidak pantas disebutkan. Sementara telah dijelaskan dalam hadis Nabi ﷺ bahwa orang-orang yang muncul setelah Nabi Adam ‘alaihissalam postur tubuhnya akan semakin pendek. Rasulullah ﷺ bersabda,
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، فَلَمْ يَزَلِ الخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الآنَ
“Allah menciptakan Adam ‘alaihissalam dalam kondisi tingginya adalah 60 hasta, lalu postur manusia semakin pendek hingga sekarang.”([23])
Jika Nabi Adam ‘alaihissalam saja tingginya 60 hasta maka bagaimana mungkin ‘Uj bin ‘Unuq tadi tingginya bisa mencapai lebih dari 3300 hasta, atau 55 kali lipatnya? Sangat tidak logis.
Ringkasnya, pada akhirnya Bani Israil tidak berperang membebaskan kota Palestina. Sebagai akibatnya, mereka terombang-ambing selama 40 tahun. Para ulama menjelaskan bahwa dalam kurun 40 tahun tersebut mereka hanya berputar-putar di suatu tempat yang berjarak antara 6 farsakh x 9 farsakh, atau sekitar 30 km2 saja.([24])
Namun Allah ﷻ Mahakuasa dan segalanya mudah bagi-Nya. Disebutkan bahwa selama 40 tahun tersebut terjadi banyak peristiwa, di antaranya Allah ﷻ menurunkan kepada mereka manna dan salwa, awan yang menaungi mereka, batu yang mengeluarkan air ketika dipukul oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan lain sebagainya.
Setelah 40 tahun tersebut, para pembangkang dari mereka banyak yang telah meninggal dunia, dan tersisa anak keturunannya, yang kemudian diperintahkan untuk berjihad. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi Harun ‘alaihissalam wafat di daerah bani Israil tersesat.([25])
Tugas keduanya lalu dilanjutkan oleh Yusya’ bin Nun. Setelah usai masa 40 tahun tersesat, maka Yusya’ bin Nun mengajak Bani Israil kembali menuju Palestina untuk berjihad di jalan Allah ﷻ. Saat itulah terdapat kisah seorang nabi dari Bani Israil yang berdoa kepada Allah ﷻ agar matahari ditahan untuk tidak terbenam dan Allah ﷻ pun mengabulkannya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis yang valid.([26]) Nabi yang dimaksud adalah Yusya’ bin Nun ‘alaihissalam.
Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa doa Yusya’ bin Nun tersebut terjadi di waktu Asar hari Jumat. Beliau hendak menyelesaikan peperangan di hari tersebut. Karena keesokannya merupakan hari Sabtu, yang mereka tidak berperang di hari tersebut.([27])
Ada sebagian ahli tafsir yang berpendapat ketika itu Nabi Musa ‘alaihissalam belum wafat, sehingga beliau juga ikut berperang bersama Yusya’ bin Nun dan para pemuda Bani Israil sehingga mereka berhasil menaklukan Palestina. ([28])
Wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam
Imam Al-Qurthubi menjelaskan tentang wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertutur,
أُرْسِلَ مَلَكُ المَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لاَ يُرِيدُ المَوْتَ، قَالَ: ارْجِعْ إِلَيْهِ فَقُلْ لَهُ يَضَعُ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ بِمَا غَطَّتْ يَدُهُ بِكُلِّ شَعَرَةٍ سَنَةٌ، قَالَ: أَيْ رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ المَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ، قَالَ: فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الأَرْضِ المُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ، إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ تَحْتَ الكَثِيبِ الأَحْمَرِ
“Pada suatu hari malaikat maut diutus kepada Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ketika malaikat itu datang, maka Nabi Musa ‘alaihissalam menempeleng matanya. Maka malaikat maut kembali kepada Rabbnya dan berkata, ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan mati.’ Maka Allah berfirman, ‘Kembalilah dan katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di atas punggung seekor lembu jantan. Setiap bulu lembu yang ditutupi oleh tangannya berarti umurnya satu tahun baginya.’ Nabi Musa ‘alaihissalam bertanya, ‘Wahai Rabb, setelah itu apa?’ Allah berfirman, ‘Kematian.’ Maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, ‘Kalau begitu sekaranglah saatnya.’ Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam memohon kepada Allah agar mendekatkannya dengan tanah suci dengan jarak selemparan batu.’” Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Seandainya aku di sana, pasti akan aku tunjukkan kepada kalian keberadaan kuburnya yang ada di pinggir jalan dibawah tumpukan pasir merah.’”([29])
Kenapa Nabi Musa ‘alaihissalam menempeleng malaikat maut tersebut? Ada yang mengatakan bahwa itu sekadar majas (kiasan). Namun, pendapat ini tidak tepat. Peristiwa itu hakiki dan faktual.
Selanjutnya, ada dua alternatif penjelasan yang kuat. Di antaranya adalah Nabi Musa ‘alaihissalam tidak mengetahui identitas siapa yang datang tanpa ijin dalam rumahnya, bahwa ia ternyata malaikat maut. Karena itu Nabi Musa ‘alaihissalam pun menempelengnya. Beliau ‘alaihissalam berhak memukul, menusuk, bahkan mencongkel mata orang yang mengintip ke dalam rumahnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar rahimahullah.([30])
Pendapat lainnya, sebagaimana yang dipilih oleh Al-Qurthubi rahimahullah, bahwa malaikat tersebut tidak memberikan pilihan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Sebab tiap nabi yang hendak dicabut nyawanya, maka akan diberikan pilihan terlebih dahulu kepadanya. Namun, lantaran malaikat tersebut datang tanpa izin dan tidak memberikan pilihan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, maka beliau pun marah dan menempelengnya.([31])
Intinya, Nabi Musa ‘alaihissalam pun akhirnya wafat. Sebelum itu beliau memohon kepada Allah ﷻ agar diwafatkan lebih dekat dengan Baitul-Maqdis, tetapi dengan jarak sejauh رَمْيَةً بِحَجَرٍ “sebuah batu yang dilempar”, artinya agak jauh dengan Baitul-Maqdis. Apa sebabnya?
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
وَلَعَلَّ ذَلِكَ لِئَلَّا يُعْبَدَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Mungkin sebabnya adalah agar beliau tidak disembah, Allahu a’lam.”([32])
Begitu juga dijelaskan oleh Ibnu Batthal, bahwa makna keinginan Nabi Musa ‘alaihissalam tersebut,
لِيُعْمَى قَبْرُهُ، لِئَلَّا يَعْبُدَ قَبْرَهُ جُهَّالُ أَهْلِ مِلَّتِهِ، وَيَقْصِدُوْنَهُ بِالتَّعْظِيْمِ، وَاللهُ أَعْلَمُ
“Agar kuburannya tidak terlihat, agar orang-orang jahil di zamannya tidak menyembah kuburannya dan mendatanginya untuk mengagungkannya. Allahu a’lam.”([33])
Hikmahnya adalah agar lokasi kuburan tersebut tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan sampai sekarang.
Di antara tujuan Allah ﷻ menyebutkan kisah ini adalah bahwa Allah ﷻ hendak memberi hiburan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwa jika orang-orang Yahudi di zaman beliau adalah orang-orang yang keras kepala, maka sebelumnya mereka juga bersikap keras kepala dan kurang ajar terhadap Nabi Musa ‘alaihissalam yang bahkan sama-sama berasal dari kalangan Bani Israil, yang seharusnya mereka agungkan. Jika demikian halnya, maka terlebih lagi sikap mereka terhadap Nabi Muhammad ﷺ yang berasal dari Arab dan bukan dari kalangan mereka.
Oleh karena itu, Allah ﷻ mengingatkan kepada beliau ﷺ agar senantiasa bersabar. Karena demikianlah pula sikap yang dimiliki oleh para nabi dari Bani Israil.([34])
________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, vol. III, hlm. 74.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 125.
([3]) Penulis lebih condong kepada pendapat ini, sebagaimana akan dijelaskan.
([4]) Lihat: Al-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 161.
([5]) Penulis lebih condong kepada pendapat ini.
([6]) Lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol. III, hlm. 72-74 dan Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 123-124.
([7]) HR Al-Tirmizi no. 2346 dan Ibn Majah no. 4141, serta dinyatakan hasan oleh Al-Albani.
([8]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. IV, hlm. 124.
([9]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. IV, hlm. 123-124.
([10]) Lihat: Al-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 162.
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 126.
([12]) Yusya’ bin Nun adalah muridnya Nabi Musa ‘alaihissalam ketika bertemu dengan Khadhir ‘alaihissalam. Beliaulah yang kelak menjadi nabi setelah Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi Harun ‘alaihissalam.
([13]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 127.
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 127.
([15]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 128.
([18]) HR Ibn Majah no. 1399 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([19]) Lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol. III, hlm. 81 dan Al-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 168.
([20]) Lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol. III, hlm. 76.
([21]) Tafsir Ibn Katsir, vol. III, hlm. 76.
([22]) Al-Manar Al-Munif Fis-Shahih wadh-Dha’if, karya Ibnul-Qayyim, hlm. 173.
([23]) HR Al-Bukhari, no. 3326.
([24]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 129.
([25]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 131.
([26]) HR Al-Bukhari no. 3124 dan Muslim no. 1747.
([27]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 130-131.
([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 130-131.
([29]) HR Al-Bukhari No. 3407.
([30]) Lihat: Fathul-Bari, vol. VI, hlm. 442.
([31]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 132.
([32]) Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 132.
([33]) Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Batthal, vol. III, hlm. 325.