15. وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
wa in jāhadāka ‘alā an tusyrika bī mā laisa laka bihī ‘ilmun fa lā tuṭi’humā wa ṣāḥib-humā fid-dun-yā ma’rụfaw wattabi’ sabīla man anāba ilayy, ṡumma ilayya marji’ukum fa unabbi`ukum bimā kuntum ta’malụn
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Tafsir :
Para ulama mengatakan bahwasanya ayat ini turun kepada Sa’ad bin Abi Waqos h yang ibunya sangat sayang kepadanya dan dia pun sangat sayang kepada ibunya. Akan tetapi ibunya sangat benci kepada Islam, oleh karenanya ibunya memaksa Sa’ad bin Abi Waqos h untuk meninggalkan Islam dan kembali kepada kesyirikan. Bahkan ibunya mengancam kepada Sa’ad bin Abi Waqos h jika dia tidak kembali kepada kesyirikan maka ibunya akan mogok makan dan mogok minum sampai meninggal dunia.
Sa’ad bin Abi Waqqoosh h berkata :
نَزَلَتْ فِيَّ أَرْبَعُ آيَاتٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، كَانَتْ أُمِّي حَلَفَتْ أَنْ لَا تَأْكُلَ وَلَا تَشْرَبَ حَتَّى أُفَارِقَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً)
“Telah turun 4 ayat dari al-Qur’an berkaitan dengan diriku. (Yang pertama), ibuku bersumpah untuk tidak makan dan tidak minum hingga aku meninggalkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allahpun menurunkan firmanNya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS Luqman : 15) ([1])
Dalam riwayat yang lain Sa’ad berkata :
كُنْتُ رَجُلًا بَرًّا بِأُمِّي، فَلَمَّا أَسْلَمْتُ قَالَتْ: يَا سَعْدُ، مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكَ قَدْ أَحْدَثْتَ؟ لَتَدَعَنّ دِينَكَ هَذَا أَوْ لَا آكُلُ وَلَا أَشْرَبُ حَتَّى أَمُوتَ، فَتُعَيَّر بِي، فَيُقَالُ: “يَا قَاتِلَ أُمِّهِ”. فَقُلْتُ: لَا تَفْعَلِي يَا أمَه، فَإِنِّي لَا أَدْعُ دِينِي هَذَا لِشَيْءٍ. فمكثتْ يَوْمًا وَلَيْلَةً لَمْ تَأْكُلْ فَأَصْبَحَتْ قَدْ جَهِدَتْ، فمكثتْ يَوْمًا [آخَرَ] وَلَيْلَةً أُخْرَى لَا تَأْكُلْ، فأصبحتْ قَدِ اشْتَدَّ جُهْدُهَا، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُلْتُ: يَا أُمَّهْ، تَعْلَمِينَ وَاللَّهِ لَوْ كَانَتْ لكِ مِائَةُ نَفْسٍ فخَرجت نَفْسا نَفْسًا، مَا تَرَكْتُ دِينِي هَذَا لِشَيْءٍ، فَإِنْ شِئْتِ فَكُلِي، وإن شئت لا تأكلي. فأكلتْ
“Aku dahulu (sebelum masuk Islam) adalah seorang yang berbakti kepada ibuku. Tatkala aku masuk Islam maka ibuku berkata, “Wahai Sa’ad, ajaran apa ini yang aku lihat engkau buat-buat?, sungguh hendaknya engkau meninggalkan agamamu tersebut atau aku tidak akan makan dan tidak akan minum hingga aku mati, lalu engkaupun dicela karena aku, maka engkau dijuluki “Wahai pembunuh ibunya”.
Aku berkata, “Wahai ibunda janganlah engkau melakukan demikian, karena aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena apapun”. Maka ibuku pun sehari dan semalam diam tidak makan, sehingga tatkala keesokan paginya ia dalam kondisi sangat payah. Lalu ia tetap bertahan hingga hari berikutnya tidak makan. Maka pada pagi harinya kondisinya semakin sangat parah. Tatkala aku melihat kondisi tersebut maka aku berkata, “Wahai ibunda, ketahuilah, demi Allah, seandainya engkau memiliki 100 nyawa lalu nyawa tersebut keluar satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkankan agamaku karena sebab apapun, jika kau mau maka makanlah !, dan jika kau mau maka tidak usah makan !”. Maka ibukupun makan” ([2])
Ini adalah perang mental, bagaimana Ibunya Sa’ad bin Abī Waqqāsh memaksanya. Namun dia bertekad untuk tetap berada di atas agama Muhammad, karena dia masuk Islam bukan hanya ikut-ikutan melainkan di atas ilmu dan sangat mengerti tentang bersihnya tauhid dan kotornya syirik.
Kemudian firman-Nya,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”
Ini menunjukkan kondisi kedua orang tuanya dalam keadaan musyrik. Bukan hanya musyrik akan tetapi keduanya juga memaksa anaknya untuk syirik. Maka Allah mengatakan untuk tidak menaati keduanya namun tetap pergauli mereka berdua di dunia dengan cara yang baik. Ini juga dalil bahwasanya tidak boleh taat kepada orang tua dalam kemaksiatan.
Para ulama menyebutkan beberapa faedah dari penyebutan فِي الدُّنْيَا “di dunia”:
- Bahwasanya dunia hanya sebentar. Artinya memang berat menghadapi orang tua yang seperti itu, maka ingatlah bahwasanya dunia hanya sebentar. Sebagaimana kondisi Sa’ad bin Abi Waqos h yang ibunya sampai mogok makan dan minum, maka memang berat kondisi seperti itu baginya akan tetapi dia harus ingat bahwasanya dunia hanya sebentar dan hendaknya dia bersabar.
- Bahwasanya taat kepada mereka hanya pada urusan dunia bukan untuk membangkang terhadap perintah Allah.
- Sebagai isyarat akan adanya akhirat. Bahwasanya sikap baik kepada kedua orang tua di dunia ada ganjarannya di akhirat. ([3])
Apa maksud dari مَعْرُوفًا “dengan cara yang baik”? Kata ini umum mencakup segala kebaikan([4]), meskipun kedua orang tua kafir maka hendaknya tetap berbakti kepada mereka. Ini merupakan ibadah yang Allah perintahkan. Jadi untuk masuk surga tidak harus kita berbakti kepada kedua orang tua yang muslim saja, akan tetapi kita juga diperintahkan kepada kedua orang tua kita meskipun dia kafir, penjudi, pemabuk, penjahat, dan lainnya. Di antara bentuk berbaktinya ada dengan cara yang baik yaitu mendakwahi mereka, memberi nasihat kepada mereka, dan lainnya. Itu semua merupakan pintu surga, dan pintu surga dalam berbakti tidak disyaratkan bahwa kedua orang tua harus baik. Karena sebagian orang hanya mau berbakti kepada kedua orang tua kalau orang tuanya baik. Adapun jika orang tuanya tidak baik maka dia tidak mau berbakti. Maka penulis ingatkan, jangankan kepada orang tua yang tidak baik, kepada orang tua yang musyrik kafir dan mengajak anaknya untuk berbuat kesyirikan namun Allah tetap memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqos h untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Tidak ada kondisi yang lebih parah dari yang disebutkan dalam ayat ini. Karena ayat ini menyebutkan kondisi kedua orang tua yang sangat parah sebagaimana yang dilalui oleh Sa’ad bin Abi Waqos h. Akan tetapi Allah tidak memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqos h untuk membentak kedua orang tuanya, namun bahkan memerintahkannya untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya dengan cara yang baik.
Karena penulis sering ditanya tentang orang tua yang penjudi atau meninggalkan anaknya sejak kecil. Maka penulis ingatkan, bahwa bagaimanapun kondisi orang tua selama seorang anak berasal dari sperma ayahnya dan ovum ibunya, dia juga pernah tinggal di dalam perut ibunya maka itu semua adalah jasa yang sangat besar. Allah tidak mensyaratkan seorang anak harus berbakti kepada orang tua yang saleh, yang telah mengaji, dan baik. Tidak, bahkan terhadap kedua orang tua yang kafir pun kita diperintahkan untuk berbakti kepada mereka maka apalagi kepada orang tua yang di bawahnya.
Kemudian firman-Nya,
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Ini semua peringatan bagi kita bahwasanya sikap kita kepada kedua orang tua itu tidak ada yang luput dari Allah. Semuanya akan menjadi perhatian Allah dan semuanya akan dikabarkan oleh Allah.
Ayat ini
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي…
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku…” (QS Luqman :15) bukanlah perkataan Luqman kepada anaknya akan tetapi merupakan جُمْلَةٌ اِعْتِرَاضِيَةٌ jumlah i’tiroodhiyah yaitu yang Allah masukkan untuk menguatkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada putranya. Setelah itu Allah kembali menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya.
_________________
Footnote :
([1]) HR Al-Bukhari di al-Adab al-Mufrod no 24 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([2]) HR At-Thobroni dalam kitab ai-‘Isyroh sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 6/337. Kisah ini juga diriwayatkan di Shahih Muslim no 1748 secara singkat