47. إِنَّ ٱلْمُجْرِمِينَ فِى ضَلَٰلٍ وَسُعُرٍ
innal-mujrimīna fī ḍalāliw wa su’ur
47. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan orang-orang kafir mereka dalam kondisi tersesat karena mereka berpaling dan menjauh dari kebenaran, dan juga mereka dalam kondisi terbakar dan sebagian ulama mengatakan bahwa mereka dalam kondisi gila. ([1])
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwasanya yang dimaksud dalam ayat ini “Sungguh, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan akan berada dalam neraka (di akhirat)”adalah golongan Qodariyyah([2]) yaitu golongan yang menolak takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang kita ketahui bahwasanya beriman kepada takdir termasuk rukun iman yang ke 6, barang siapa yang tidak beriman kepada takdir maka imannya tidak sah, sebagaimana yang disebutkan pada shohih Muslim
كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»
“Orang yang pertama kali membahas takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani, maka aku dan Humaid bin Abdurrahman al-Himyari bertolak haji atau umrah, maka kami berkata, ‘Seandainya kami bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami akan bertanya kepadanya tentang sesuatu yang mereka katakan berkaitan dengan takdir.’ Maka [Abdullah bin Umar] diberikan taufik (oleh Allah) untuk kami, sedangkan dia masuk masjid. Lalu aku dan temanku menghadangnya. Salah seorang dari kami di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu aku mengira bahwa temanku akan mewakilkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul di hadapan kami suatu kaum membaca al-Qur’an dan mencari ilmu lalu mengklaim bahwa tidak ada takdir, dan perkaranya adalah baru (tidak didahului oleh takdir dan ilmu Allah).’ Maka [Abdullah bin Umar] menjawab, ‘Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku. Dan demi Dzat yang mana hamba Allah bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya salah seorang dari kalian menafkahkan emas seperti gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir. ([3])
Namun yang jadi masalah adalah kebanyakan orang yang menyimpang dalam masalah takdir karena mereka menggunakan otak atau akal mereka yang bukan ranahnya, karena masalah takdir di luar dari ranah akal, oleh karenanya para ulama mengatakan,
إنَّ قَدَرَ اللهِ تعالى سرٌّ مكتومٌ
“sesungguhnya takdir Allah Ta’ala adalah rahasia yang tersembunyi.” ([4])
Sehingga tidak ada seseorang yang mengetahui mengapa si fulan ditakdirkan begini dan begini, mengapa Muhammad dijadikan sebagai seorang rasul, mengapa Iblis ditakdirkan sebagai Iblis, maka semua ini tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya karena ini adalah rahasia Allah subhanahu wa ta’ala. Ibnu Daqiq Al-Ied berkata bahwasanya seseorang mungkin jika sudah di akhirat seseorang akan diungkapkan rahasia tersebut, akan tetapi kita tidak akan mengetahui rahasia tersebut mengapa begini dan begitu maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” QS. Al-Anbiya: 23
Maka seseorang dalam masalah takdir tidak boleh bertanya kenapa begini dan kenapa begitu, hal ini dikarenakan otak kita tidak sampai dalam memahaminya, sekarang saja banyak hal tidak bisa kita pikirkan, penulis akan memberikan ilustrasi وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ“dan perumpamaan Allah lebih besar”, contoh sederhana: banyak di antara kita memiliki anak kecil, misalkan anak kecil tersebut sedang bermain game atau yang lain lalu kita larang, ketika kita menjelaskan alasan melarangnya namun dia tidak dapat memahaminya, hal ini dikarenakan otak dia tidak bisa untuk memahaminya. Dan banyak hal yang otak anak kecil tidak bisa sampai dalam memahaminya dibandingkan otak kita, karena dalam masalah takdir Allah subhanahu wa ta’ala berbicara masalah hikmah, dan itu semua rahasia Allah subhanahu wa ta’ala. Dan tugas kita di dunia ini bukan menanyakan kenapa Allah begini dan kenapa Allah begitu? Namun yang menjadi kewajiban kita adalah menjalankan aturan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan semuanya, barang siapa yang beramal saleh akan masuk surga dan barang siapa yang bermaksiat akan masuk neraka, dan kita semua bisa memilih antara dua pilihan, dan kita akan diberi balasan sesuai dengan pilihan kita. Adapun jika kita tidak bisa memilih maka kita tidak akan dihukum, akan tetapi semua itu telah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan.
Rukun iman kepada takdir:
Pertama: عِلْمُ اللهِ السَّابِق yaitu ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui sebelumnya.
Kedua: الكِتَابَة pencatatan di al-lauh al-mahfuzh
Ketiga: المشِيْئَة kehendak, yaitu semua yang terjadi tidak ada yang keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.
Keempat: الخلْقُ penciptaan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki tersebut. ([5])
Penulis akan memberikan perumpamaan untuk dapat lebih memahami 4 rukun iman terhadap takdir وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ“dan perumpamaan Allah lebih besar”, jika ada seorang insinyur dan kalau dia hebat ketika dia ingin membangun rumah maka dia harus paham tentang ilmu membuat rumah, maka dia akan memperkirakan, menyusun sketsa rumahnya, memperkirakan bahan-bahannya, memperkirakan biayanya atau RAB (rencana anggaran biaya), memperkirakan kapan selesai pembangunannya, dan semuanya dia perkirakan, semuanya dia lakukan dengan ilmu lalu dia gambar dan susun bagaimana progres setiap bulannya dan tahap akhirnya dia kerjakan, jika dia memperkirakan pembangunan rumah tersebut selama 4 bulan dan ternyata rumah tersebut selesai selama 4 bulan sesuai yang dia perkirakan maka dia adalah seorang insinyur yang hebat karena sesuai berjalan dengan progresnya, namun kebanyakan orang tidak bisa seperti ini, yang pasti ada kesalahan yang terjadi entah itu tambah biaya, atau kurang biaya, salah hitung, atau telat dari yang diperkirakan. Kira-kira demikianlah gambarannya, Allah subhanahu wa ta’ala sebelum menjalankan penciptaan semua ini Dia merencanakan, Dia tahu apa yang akan Dia lakukan, Dia tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang secara keseluruhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ،
“Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.” ([6])
Jadi Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang akan terjadi d masa mendatang dan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala meliputi semua yang akan terjadi setelah Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui semuanya Allah subhanahu wa ta’ala mencatat ilmu tersebut di Al-Lauh Al-Mahfuz, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, kemudian Allah berkata kepadanya: tulislah wahai pena! Pena berkata: apa yang aku tulis wahai Tuhanku? Allah subhanahu wa ta’ala berkata: tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.” ([7])
Ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang telah tercacat tersebut kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak untuk menjalankannya, maka semua yang Allah subhanahu wa ta’ala catat Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki dan semuanya tidak ada yang keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, ketika semuanya telah Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki maka kemudian Allah subhanahu wa ta’ala jalankan semuanya, كُنْ فَيَكُونُ “Jadi ! maka terjadilah” semuanya Allah subhanahu wa ta’ala buat terjadi, maka semua yang terjadi adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada satu pun yang keluar dari ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, dan semua selain Allah subhanahu wa ta’ala adalah ciptaan-Nya termasuk kejadian yang sedang berlangsung. Dan inilah akidah Ahlu sunnah secara global, dan jika seseorang tidak memahami hal ini maka dia akan terjerumus dalam kelompok sesat yaitu Qodariyyah dan Jabriyyah.
Manfaat dari beriman kepada takdir sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surah Al-Hadid,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” QS. Al-Hadid: 22-23
Maka dalam ayat ini disebutkan dua manfaat dari beriman kepada takdir:
Pertama: supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, karena jika ada yang luput maka semua ini sudah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan, dan ini sangat penting dalam kehidupan kita, karena tidak semua yang kita hadapi sesuai dengan tujuan kita atau sesuai dengan cita-cita kita, banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan cita-cita kita yang membuat air mata kita berderai, membuat kita marah, karena memang Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kehidupan sebagai tempat ujian, sehingga ketika kita sedang diuji maka kita ingat bahwa hal tersebut telah ditakdirkan,
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan.” ([8])
Penulis mempunyai sebuah kisah tentang Ustadz Abu Sa’ad rahimahullah yang cerita tersebut penulis dapatkan dari teman-teman beliau, ketika beliau mengirimkan berbagai macam bantuan ke sebagian negara dan saat itu di sana dalam konteks perang, beliau berkata kepada kawan-kawan penulis: “kamu jangan takut karena setiap peluru telah ditulis namanya akan mengenai siapa, jika tidak ada namamu maka tidak akan mengenaimu”. Kawan-kawan beliau yang pernah menyertai beliau dalam safar untuk kegiatan sosial, bawasanya beliau tidak pernah takut, ketika yang lain mundur dia malah maju. Dan ini adalah buah dari iman kepada takdir, dan setiap orang memiliki tingkat iman yang berbeda-beda.
Kedua: supaya kalian jangan sombong terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Ketika kita bekerja keras kemudian mendapatkan kenikmatan berupa rumah yang bagus dan mobil yang bagus, maka jangan kita mengatakan bahwasanya hal tersebut semata-mata hasil jerih payah kita, namun yang benar bahwasanya semua hal tersebut telah ditakdirkan. Dan ketika kita memiliki kecerdasan dan kepintaran maka jangan kita sombong karena semua tersebut adalah pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, seandainya Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan kita bodoh maka itu adalah perkara yang mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala, namun kita tidak tahu apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki.
Berikutnya ketika kita beriman kepada takdir maka ini akan membuat takut orang-orang yang saleh, karena kita tidak tahu penghujung dari kehidupan kita, kita tidak tahu apakah kita akan meninggal dalam keadaan husnul khotimah atau su-ul khotimah.
Beriman kepada takdir fungsinya banyak, jadi ketika membahasa tentang takdir bukan maksudnya untuk bertanya mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan ini dan itu karena akal kita tidak sampai, dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” QS. Al-Anbiya: 23
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/147
([2]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/221 dan Al-Alusy 14/93
([4]) Lihat: Syarah al-Arbaín An-Nawawiyah, Ibnu Daqiiq al-Íed pada syarah hadits ke 4, dan juga Syarah Tsalaatsatul Ushuul karya Syaikh Al-‘Utsaimin hal: 114
([5]) Lihat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah hal: 162-163