Pertama: Dari sisi muzaki (yang membayar zakat)
Mengembangkan harta zakat berkonsekuensi pengakhiran dalam membayar harta zakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang rajih tidak bolehnya mengakhirkan membayar zakat kecuali ada uzur syar’i. Sedangkan pengembangan harta zakat bukanlah uzur syar’i. Dari semua pemaparan ini menjadi jelas bahwa muzaki harus membayarkan hartanya yang terkena zakat dan tidak boleh mengembangkannya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:
Kedua: Dari sisi pemerintah atau badan yang ditunjuk oleh pemerintah
Para ulama sepakat bolehnya pemerintah atau badan yang ditunjuk untuk mengumpulkan harta zakat yang kemudian dibagi-bagikan kepada penerima zakat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang investasi zakat yang dilakukan pemerintah. Perbedaan mereka secara umum kembali kepada dua pendapat:
Pertama: tidak bolehnya harta zakat diinvestasikan.
Kedua: bolehnya harta zakat diinvestasikan.
Alasan pendapat pertama:
﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:60)
Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa penerima zakat terbatas kepada delapan golongan, sedangkan investasi zakat menyebabkannya keluar dari delapan golongan ini. Hal ini bertentangan dengan konsekuensi dari pembatasan.
Akan tetapi, alasan ini dibantah. Karena investasi zakat yang dilakukan oleh pemerintah atau badan yang ditunjuk merupakan ijtihad dalam metode pengeluaran zakat, bukan memalingkannya kepada selain 8 golongan penerima zakat. Pemerintah hanya mengeluarkannya untuk maslahat mustahiknya bukan memalingkannya.
Akan tetapi, alasan ini dijawab dengan beberapa poin:
Akan tetapi, alasan ini dijawab bahwa kemungkinan adanya kerugian tidak menghalangi dari mengembangkan harta zakat. Terlebih lagi saat ini banyak para pakar yang bisa mempertimbangkan sebelum harta zakat diinvestasikan. Sehingga hal ini bisa memperkecil kemungkinan kerugian.
Begitu juga ulama yang menyatakan bolehnya menginvestasikan harta zakat memberikan ketentuan adanya jaminan yang cukup untuk menghindari kerugian. Harta zakat ini diinvestasikan kepada sesuatu yang minim kerugian dan dibangun di atas perhitungan yang terperinci.
Akan tetapi, alasan ini dijawab dengan beberapa jawaban:
Akan tetapi, alasan ini dijawab dengan beberapa jawaban:
Alasan pendapat kedua:
أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا المَدِينَةَ فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ، فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا
“Bahwa ada sekelompok orang dari ‘Urainah yang sakit terkena udara dingin kota Madinah. Maka Rasulullah ﷺ memberikan rukhsah kepada mereka untuk mendatangi unta sedekah, kemudian mereka meminum susu dan air kencingnya.” ([2])
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak membagikan harta zakat hewan ternak kepada para mustahik. Akan tetapi beliau ﷺ mendatangkan penggembala guna mengembangkan hewan-hewan ternak tersebut, setelah berkembang barulah Nabi ﷺ menyalurkannya kepada para mustahik zakat.
Akan tetapi alasan ini dijawab bahwa ini bukanlah untuk mengembangkan harta zakat. Namun, ini hanya sekedar menjaga dan dibagikan ketika datang waktu pembagiannya. Adapun anak-anak ternak yang didapatkan maka ini adalah perkara yang biasa dan bukan tujuan. Sehingga ini bukanlah dalil bolehnya mengembangkan harta zakat.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ، وَكَانَ لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ
“Bahwa Nabi ﷺ memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Maka beliau mendoakan dia keberkahan dalam jual belinya itu, ‘Sungguh dia apabila berdagang debu sekalipun, pasti mendapatkan untung’.” ([3])
Hadits ini menunjukkan bahwa Urwah radhiallahu ‘anhu berniaga dengan harta yang tidak diwakilkan untuk diperniagakan. Ini menunjukkan bolehnya mengembangkan harta orang lain tanpa izin pemiliknya, karena Nabi Muhammad ﷺ menetapkannya dan mendoakan keberkahan untuknya. Jika mengembangkan harta orang lain secara khusus diperbolehkan maka penguasa boleh mengembangkan harta zakat meski tanpa seizin para mustahik. Hal ini dikarenakan penguasa memiliki hak dalam berbuat terhadap harta zakat sehingga bisa terealisasi maslahat untuk para mustahik.
Akan tetapi, alasan ini dijawab bahwa ada kemungkinan Urwah radhiallahu ‘anhu sebagai wakil dari menjual dan membeli. Namun jawaban ini kembali dibantah karena kemungkinan ini sangat jauh, juga zahir hadits ini menunjukkan bahwa dia hanya sebagai wakil untuk membeli saja.
خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ ابْنَا عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي جَيْشٍ إِلَى الْعِرَاقِ فَلَمَّا قَفَلَا مَرَّا عَلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، وَهُوَ أَمِيرُ الْبَصْرَةِ، فَرَحَّبَ بِهِمَا وَسَهَّلَ، ثُمَّ قَالَ: لَوْ أَقْدِرُ لَكُمَا عَلَى أَمْرٍ أَنْفَعُكُمَا بِهِ لَفَعَلْتُ، ثُمَّ قَالَ: بَلَى هَاهُنَا مَالٌ مِنْ مَالِ اللَّهِ، أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَ بِهِ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأُسْلِفُكُمَاهُ فَتَبْتَاعَانِ بِهِ مَتَاعًا مِنْ مَتَاعِ الْعِرَاقِ، ثُمَّ تَبِيعَانِهِ بِالْمَدِينَةِ، فَتُؤَدِّيَانِ رَأْسَ الْمَالِ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، وَيَكُونُ الرِّبْحُ لَكُمَا، فَقَالَا: وَدِدْنَا ذَلِكَ، فَفَعَلَ، وَكَتَبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمَا الْمَالَ، فَلَمَّا قَدِمَا بَاعَا فَأُرْبِحَا، فَلَمَّا دَفَعَا ذَلِكَ إِلَى عُمَرَ قَالَ: «أَكُلُّ الْجَيْشِ أَسْلَفَهُ، مِثْلَ مَا أَسْلَفَكُمَا»؟ قَالَا: لَا، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ابْنَا أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَسْلَفَكُمَا، أَدِّيَا الْمَالَ وَرِبْحَهُ»، فَأَمَّا عَبْدُ اللَّهِ فَسَكَتَ، وَأَمَّا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ: مَا يَنْبَغِي لَكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، هَذَا لَوْ نَقَصَ هَذَا الْمَالُ أَوْ هَلَكَ لَضَمِنَّاهُ؟ فَقَالَ عُمَرُ: أَدِّيَاهُ، فَسَكَتَ عَبْدُ اللَّهِ، وَرَاجَعَهُ عُبَيْدُ اللَّهِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ جُلَسَاءِ عُمَرَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ جَعَلْتَهُ قِرَاضًا؟ فَقَالَ عُمَرُ: قَدْ جَعَلْتُهُ قِرَاضًا، فَأَخَذَ عُمَرُ رَأْسَ الْمَالِ وَنِصْفَ رِبْحِهِ، وَأَخَذَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ ابْنَا عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ نِصْفَ رِبْحِ الْمَالِ
“Abdullah dan Ubaidullah, keduanya anak Umar bin Khattab, pernah bergabung dalam sebuah pasukan menuju Irak. Tatkala kembali, mereka berdua melewati Abu Musa Al Asy’ari yang pada saat itu menjadi gubernur Bashrah. Abu Musa kemudian menyambut keduanya dengan senang hati seraya berkata, ‘Sekiranya aku bisa memberikan sesuatu yang dapat bermanfaat kepada kalian di hari kemudian, niscaya akan aku lakukan.’ [Abu Musa] berkata lagi, “Oh ya, ini ada harta dari harta Allah, saya ingin menyerahkannya kepada Amirul Mukminin, saya pinjamkan harta ini kepada kalian berdua sehingga kalian bisa berbelanja barang dagangan di Irak dan menjualnya kembali sesampai di Madinah. Nanti serahkanlah modalnya kepada Amirul Mukiminin, dan keuntungannya untuk kalian berdua. Mereka berdua berkata, ‘Kami senang dengan hal itu.’ Maka Abu Musa melakukannya dan menulis pesan untuk Amirul Mukminin agar dia mengambil harta darinya yang dititipkan kepada kedua anaknya. Tatkala mereka berdua tiba (di Madinah) mereka menjual dagangannya hingga mendapatkan keuntungan. Namun tatkala hendak menyerahkan harta tersebut kepada Umar, Umar bertanya, ‘Apakah Abu Musa meminjami setiap pasukan sebagaimana dia meminjamkannya kepada kalian berdua? ‘ Mereka berdua menjawab, ‘Tidak’. [Umar bin Khattab] berkata, ‘Jadi karena kalian anak dari Amirul Mukminin sehingga dia meminjamkannya? Serahkan semua harta serta keuntungannya!’ Mendengar hal itu, Abdullah hanya bisa diam. Sedangkan Ubaidullah berkata, ‘Tidak sepatutnya engkau bersikap demikian, wahai Amirul Mukminin, bukankah jika harta itu berkurang atau hilang, kami harus menanggungnya? Umar masih bersikukuh, ‘Serahkan, ‘ Abdullah juga masih terus diam, sedang Ubaidullah masih terus berusaha mendesaknya. Lalu ada seorang lelaki yang berada di majelis itu berusaha untuk menengahi dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, bagaimana jika harta itu engkau pinjamkan kepada mereka berdua? ‘Aku telah meminjamkannya kepada mereka berdua’, jawab Umar bin Khattab. Kemudian Umar mengambil harta itu ditambah setengah dari keuntungan, sedang Abdullah dan Ubaidullah juga mendapat setengah dari keuntungan.”([4])
Di dalam atsar ini kedua anak Umar bin Khatthab mengembangkan harta zakat. Hal ini menunjukkan bolehnya melakukan hal yang semisal ini. di dalam atsar ini juga Umar tidak membantah perbuatan kedua anaknya. Beliau hanya membantah perbuatan Abu Musa radhiallahu ‘anhu yang mengkhususkan kedua anaknya.
Akan tetapi alasan ini dijawab bahwa di dalam atsar tidak ada nas yang jelas bahwa harta tersebut adalah harta zakat. Namun, hal ini mungkin bisa dibantah bahwa harta yang dikembangkan dinyatakan sebagai “harta Allah ﷻ dan ini sesuai dengan harta zakat. Seandainya ini bukan harta zakat maka mengembangkan harta zakat bisa dikiaskan kepadanya karena keduanya adalah harta Allah ﷻ yang wajib ditunaikan.
Di dalam atsar ini kedua anak Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu menjamin harta tersebut. Sehingga memungkinkan untuk mengembangkan harta zakat sesuai dengan yang disebutkan dalam atsar ini.
Pendapat yang rajih:
Berdasarkan pemaparan seluruh alasan dari dua pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa penguasa boleh untuk mengembangkan harta zakat dengan ketentuan-ketentuan syar’i dalam merealisasikan maslahat. Perajihan ini disebabkan beberapa alasan:
Ketentuan-ketentuan diperbolehkannya mengembangkan harta zakat:
Footnote:
____________
([1]) Lihat: Nawazil az-Zakah (hlm. 475).
([2]) HR. Bukhari No. 1501 dan Muslim No. 1671.
([4]) HR. Malik dalam kitab Muwattha No. 1 (2/687).
([5]) Lihat: Nawazil az-Zakah hlm. 477-496 (dengan banyak meringkas).
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ bismillāhir-raḥmānir-raḥīm 1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha…
الٓمٓ alif lām mīm 1. Alif laam miim. ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ…
الٓمٓ alif lām mīm 1. Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ…
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا…
الٓمٓصٓ alif lām mīm shād 1. Alif laam mim shaad. كِتَٰبٌ أُنزِلَ إِلَيْكَ فَلَا يَكُن…
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَنفَالِ ۖ قُلِ ٱلْأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِ ۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ…