Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Matan
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ، وَمَنِ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ، وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ، وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ، فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah maka berilah; barangsiapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah; barangsiapa yang mengundangmu maka penuhilah undangannya; dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah kebaikan itu (dengan sebanding atau lebih baik), dan jika engkau tidak mengapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya maka doakan dia sampai engkau merasa yakin bahwa engkau telah memblasa kebaikannya.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dengan sanad yang sahih).
Syarah
Di antara bentuk pengagungan seseorang terhadap tauhid adalah tatkala seseorang meminta sesuatu kepada kita dengan menyebut nama Allah kita memberikan apa yang dia minta selama kita mampu. Hal ini adalah bentuk kita mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kita rezeki, Allah yang memberi kita kemudahan, maka jika kita memiliki kemudahan untuk memberi maka hendaknya kita memberi, terlebih lagi jika dia meminta dengan menyebut nama Allah. Maka bab ini mengingatkan kepada kita bahwa apabila ada yang meminta kepada kita dengan menyebut nama Allah maka hendaknya kita penuhi permintaannya, dan jangan kita tolak permintaannya, terlebih jika permintaannya tidak memudharatkan kita.
Di tanah air kita “meminta dengan menyebut nama Allah” hampir tidak kita temukan. Jarang dan hampir-hampir kita tidak menemukan ada orang yang meminta dengan menyebut nama Allah. Berbeda halnya dengan di negara-negara Arab, semisal Arab Saudi, orang-orang yang meminta dengan nama Allah itu masih sering kita temukan. Orang-orang Arab biasanya melakukan permintaan dengan menyebut nama Allah adalah agar permintaannya diperhatikan. Oleh karenanya perlu untuk kita ketahui bahwa konsekuensi dari tauhid kita adalah kita memenuhi permintaan orang yang meminta dengan nama Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sikap seseorang terhadap orang yang meminta dengan menyebut nama Allah
Hadits yang telah kita sebutkan di atas menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ
“Barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah maka berilah.”([1])
Lantas bagaimana sikap kita terhadap orang yang datang kepada kita dan meminta dengan menyebut nama Allah? Dalam hal ini maka dilihat terlebih dahulu orang yang meminta dari dua kondisi,
Kondisi pertama: Orang tersebut hanya sesekali meminta dengan menyebut nama Allah. Jika kita menemukan atau mendapati orang yang jarang meminta, dia hanya sesekali meminta dengan menyebut nama Allah, dan kita melihat dia benar-benar serius dalam menyebut nama Allah, maka para ulama menyebutkan bahwa perkara semacam ini dilihat dari beberapa kondisi
Kondisi kedua: Orang tersebut selalu menyebut nama Allah ketika meminta.
Para ulama menyebutkan bahwa apabila ada orang yang kemana-mana selalu minta dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala, maka permintaannya tidak perlu untuk dipenuhi (diperhatikan) dan tidak mengapa untuk diabaikan, karena pada hakikatnya orang tersebut tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Terus-terusan meminta dengan menyebut nama Allah adalah bukti bahwa seseorang itu tidak mengagungkan Allah, seakan-akan orang tersebut menjual nama Allah demi kepentingannya. Maka orang yang seperti ini tidak mengapa untuk tidak kita penuhi permintaannya.
Meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam hadits di atas,
وَمَنِ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ
“Barangsiapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah.”([2])
Jika sekiranya ada seseorang datang kepada kita dan berkata “Waha fulan, demi Allah bantulah aku untuk menghindarkan gangguan dia dariku”, jika kita mampu untuk membantunya maka wajib bagi kita untuk memenuhi permintaannya. Selain sebab yang meminta adalah seorang muslim, wajib bagi kita membantunya karena dia meminta dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan kita, telah memberi kekuatan kepada kita, telah memberikan kepada kita segala kemudahan, lantas kemudian kita tidak memenuhi permintaan atas namaNya? Coba kita renungkan, contoh seperti seseorang yang datang kepada kita meminta dengan membawa pesan dari kerabat kita, maka pasti perhatian dengan permintaannya karena ada pesan dari kerabat kita, maka terlebih lagi ketika orang yang meminta datang dengan menyebut nama Tuhan kita, maka seharusnya kita harus memenuhi permintaannya jika mampu, adapun jika kita tidak mampu maka tentu tidak mengapa karena itu di luar kemampuan kita.
Memenuhi undangan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam sabdanya,
وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ
“Barangsiapa yang mengundang kalian maka penuhilah undangannya.”([3])
Para ulama membahas tentang undangan walimah ada dua model
Menghadiri undangan walimatul ‘urs hukum yang benar adalah wajib jika memenuhi persyaratankitnya – sebagaimana termaktub di buku-buku fikih -. Diantara syarat-syaratnya adalah walimah tersebut adalah walimah yang pertama (karena bisa jadi dalam satu pernikahan dilakukan walimah berulang-ulang atau berhari-hari), tidak perlu safar, tidak memberatkan yang diundang, yang diundang bukan hanya dari kalangan orang kaya namun juga harus ada dari kalangan orang miskin([4]), dan syarat-syarat lainnya. Maka jika syarat-syaratnya terpenuhi maka wajib bagi kita untuk menghadirinya.
Bentuk-bentuk undangan walimah selain walimatul ‘urs sangat banyak Contohnya. Di antaranya walimah khitan (sunat), walimah kelahiran (akikah), walimah peresmian rumah baru, walimah pulang dari safar, atau walimah tanpa sebab seperti undangan makan. Pendapat yang kuat, hukum menghadiri undangan selain walimatul ‘urs adalah sunnah.
Membalas kebaikan dengan kebaikan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ، فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah kebaikan itu (dengan sebanding atau lebih baik), dan jika engkau tidak mengapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya maka doakan dia sampai engkau merasa yakin bahwa engkau telah membalas kebaikannya.”([5])
Ketika ada orang yang memberikan kita suatu pemberian, kemudian kita mampu untuk membalasnya, maka balaskan kebaikan orang tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa membalas kebaikan seseorang kepada kita tujuannya adalah agar kita tidak berhutang budi kepadanya, agar tidak tidak rendah di hadapannya.
Jika ternyata kita tidak mampu membalasnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk membalas kebaikan tersebut dengan mendoakan orang tersebut sampai kita merasa telah membalas kebaikannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa maksudnya adalah jika pemberian orang tersebut adalah pemberian yang biasa maka kita mendoakan dia secukupnya, dan jika pemberiannya besar maka seyogyanya bagi kita untuk selalu mendoakannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad rahimahullah, di mana dia berkata,
سِتَّةٌ أَدْعُو لَهُمْ سَحَراً، أَحَدُهُمُ: الشَّافِعِيُّ
“Enam orang yang senantiasa aku doakan di waktu sahur, salah satunya Imam Syafi’i.”([6])
Imam Ahmad rahimahullah merasa bahwa apa yang diberikan oleh Imam Syafi’i kepadanya sangat bernilai dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, sehingga beliau senantiasa mendoakan gurunya di waktu sahur. Maka tentu mungkin kita memiliki salah seorang kawan yang senantiasa perhatian kepada kita, banyak memberi kepada kita kebaikan secara materi maupun moril, maka setidaknya kita membalas kebaikannya dengan senantiasa mendoakannya, sampai kita merasa bahwa doa kita itu cukup untuk membalas kebaikannya. Jika kemudian kita merasa bahwa doa kita belum cukup untuk membalas kebaikannya maka doakan terus.
Demikian pula hal ini kita lakukan kepada orang yang tidak ingin dibalas kebaikannya, contohnya seperti raja atau orang kaya yang kita tahu bahwa pemberiannya tidak ingin di balas. Maka cara kita membalasnya adalah dengan mendoakannya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam agar kita tetap bertauhid kepada Allah Subhanhu wa ta’ala, jangan sampai hati kita tunduk kepada selain Allah Subhanhu wa ta’ala.
Intinya, jika kita bisa membalas kebaikan seseorang dengan kebaikan yang semisalnya maka lakukanlah karena itu yang terbaik. Adapun jika kita tidak mampu maka doakanlah hingga kita merasa cukup untuk membalasnya. Dan di antara cara mendoakan adalah dengan mengatakan,
جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا
“Semoga Allah memberikan balasan kepadamu dengan kebaikan.”
Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa barangsiapa orang berbuat baik kepadanya kemudian dia mengucapkan “جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا” maka kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“Maka sungguh dia telah bersungguh-sungguh dalam memberi pujian.”([7])
Maka dari itu, penulis mengingatkan diri dan antum sekalian jangan kita sepelekan kebaikan orang sekecil apa pun, paling tidak kita mengatakan “جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا”, dan tatkala kita mengucapkan demikian maka seriuslah dalam hal itu, karena kalimat tersebut adalah doa. Ketahuilah bahwa bisa jadi orang yang memberikan suatu pemberian kepada kita telah memikirkan kita dalam waktu yang lama, lantas dia menyengajakan diri untuk memberikan kebaikan kepada kita, maka balaslah dengan mengucapkan “جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا”, bisa jadi jika kita membalasnya belum menandingi apa yang dia berikan kepada kita, akan tetapi jika Allah yang telah membalas kebaikannya maka itu sangat cukup. Oleh karenanya jangan pelit-pelit mengucapkan “جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا”, mungkin kita katakan itu adalah balasan yang paling kecil, namun hakikatnya perkataan tersebut sangat berarti. Ingatlah bahwa jika seseorang sudah tidak tahu berterima kasih kepada orang lain maka sejatinya dia tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَشْكُرُ اللَّهُ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak bersyukur kepada Allah siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia.”([8])
Matan
Kandungan bab ini:
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([4]) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seburuk-buruk jamuan adalah jamuan walimah, yang diundang sebatas orang-orang kaya, sementara orang-orang miskin tidak diundang. Siapa yang tidak memenuhi undangan maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muttafaqun ‘alaih)
([7]) HR. At-Tirmidzi no. 2035
([8]) HR. Bukhari no. 218 dalam Adabul Mufrad, HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dengan sanad yang sahih
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ bismillāhir-raḥmānir-raḥīm 1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha…
الٓمٓ alif lām mīm 1. Alif laam miim. ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ…
الٓمٓ alif lām mīm 1. Alif laam miim. ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ…
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا…
الٓمٓصٓ alif lām mīm shād 1. Alif laam mim shaad. كِتَٰبٌ أُنزِلَ إِلَيْكَ فَلَا يَكُن…
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَنفَالِ ۖ قُلِ ٱلْأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِ ۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ…